Pandangan kekinian dalam mengamati situasi terkini dalam perkembangan teknologi bahkan pengelolaan media sosial yang merajah lela, dikalan sosial masyarakat lebih khusus di Papua. Dalam pandangan ini dapat saya amati bahwa genersi semakin bergeser secara mentalitas perindivu namun bergeser dari nilai mora.
Didasari pada etika berkomunikasi, tidak hanya pada konten atau palfrom digital tertentu, namum condong lebih individualistrik dan tidak produktif. Pada dasarnya pengelolaan media sosial sebenarnya pada nilai positif, kemampuan manajerial waktu serta adaptasi dengan pengelolaan. Ini justru dampaknya jahu dari kehidupan yang semestinya.
Secara umum media sosial hari ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda Papua saat ini. Dari bangun tidur hingga menjelang malam, hampir setiap detik bersentuhan dengan layar ponsel. TikTok, Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi ruang utama untuk berinteraksi, mencari hiburan, bahkan mencari pengakuan sosial. Namun, di balik segala manfaatnya, media sosial juga membawa dampak serius: maraknya hoaks, hilangnya solidaritas sosial, dan lahirnya pola hidup egoistis yang berpotensi merusak diri.
Fenomena ini sesungguhnya dapat dibaca melalui pemikiran Émile Durkheim, seorang sosiolog klasik yang menulis buku Le Suicide (1897). Durkheim mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe: egoistic, altruistic, anomic, dan fatalistic. Dari keempatnya, konsep egoistic suicide sangat relevan untuk menjelaskan tantangan generasi muda Papua di era digital saat ini.
Egoistic Suicide: Bunuh Diri Sosial di Era Medsos
Egoistic suicide terjadi ketika ikatan sosial seorang individu melemah. Ia merasa terasing, kehilangan makna hidup, dan tidak lagi terhubung dengan komunitas. Bunuh diri egoistis tidak hanya bisa dimaknai secara fisik, tetapi juga secara sosial. Seseorang bisa saja tidak benar-benar mengakhiri hidupnya, namun secara perlahan “membunuh masa depan” dengan perilaku destruktif: putus sekolah, kecanduan alkohol, narkoba, terjebak dalam kekerasan, atau larut dalam dunia maya yang penuh ilusi.
Di Papua, fenomena ini tampak jelas dalam cara sebagian anak muda menggunakan media sosial. TikTok Live misalnya, sering dipakai untuk berteriak tanpa arah, mengganggu kenyamanan warga sekitar. Facebook dipenuhi postingan foto demi like, balas komentar, atau berburu bintang untuk sensasi sesaat. Alih-alih menjadi ruang produktif, media sosial justru menjadi jerat yang mengurung generasi muda dalam siklus egoisme digital.
Hoaks: Racun yang Memecah Solidaritas
Lebih dari itu, hoaks menjadi ancaman nyata. Di Papua, isu-isu sensitif seperti politik, konflik, kesehatan, hingga isu identitas sering dipelintir di ruang digital. Hoaks tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merusak kepercayaan sosial. Masyarakat jadi mudah curiga satu sama lain, bahkan antar saudara bisa saling bermusuhan.
Durkheim menekankan bahwa ketika solidaritas melemah, individu rentan kehilangan pegangan hidup. Hoaks memperparah kondisi ini: ia memutus ikatan sosial, membuat generasi muda semakin tidak percaya pada institusi, adat, atau agama. Akibatnya, mereka larut dalam isolasi digital kesepian di tengah keramaian dunia maya.