Mohon tunggu...
Jeanne Francoise
Jeanne Francoise Mohon Tunggu... Dosen - Woman of Conference

Woman of Conference

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lomba Esai Nasional Bulan Bahasa UGM: "Perjalanan Manusia Indonesia yang Pernah Sakit Hati"

22 Oktober 2015   08:50 Diperbarui: 3 Januari 2016   19:46 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Dalam rangka meramaikan Bulan Bahasa UGM, esai ini ditulis dengan maksud menyampaikan gagasan ilmiah tentang rasa sakit hati, sebagai sebuah penghalang kemajuan individu Indonesia, yang akan penulis kaitkan dengan 3 (tiga) momen perjalanan kolektif bangsa Indonesia, yakni Merdeka, Demokrasi, dan Modern; yang disingkat menjadi “Merkader”.

            Apabila dianalisis secara ilmu sintaksis Bahasa Indonesia, “sakit hati” dapat didefinisikan sebagai sebuah kondisi batin yang dirangkai dari dua kata saja, yakni kata “sakit” dan kata “hati”. Tentang analisis asal-usul gabungan kedua kata tersebut tentu perlu ditanya lebih jauh kepada ahli morfologi Bahasa Indonesia karena bisa saja makna yang ingin dikonstruksi dapat diwakilkan dengan “pilu hati” atau “pedih hati” atau “galau hati”.

Setiap individu yang pernah mengalami sakit hati, tentu tidak perlu menjadi ahli semantik untuk memahami rasa sakit hati itu. Sakit hati artinya sedang merasakan rasa ketidakbahagiaan. Entah itu ditolak, dipermalukan, dikhianati, dihina, diperolok, atau tidak dihargai. Dari pengalaman penulis sendiri, kedua kata itu terkait kepada segala hal dalam hidup, sehingga hati ini seolah pecah-pecah tidak berbentuk yang dampaknya panjang ke dalam aksi kehidupan sehari-hari. Penulis menjadi lebih pendiam, lebih murung, dan lebih sensitif. Namun, penulis bersyukur pernah mengalami sakit hati, sehingga perjalanan hidup ini tetap ada cerita.

Bagaimana dengan pengalaman saudara-saudari pembaca sendiri? Apakah pernah merasakan sakit hati? Bagaimana rasanya? Mungkin ada yang bilang tidak enak, pilu, pedih, galau, kecewa, hilang arah, sedih, sepet, nyesss, miris, menyebalkan, tidak karuan, pokoknya tidak bisa terperi dengan kata-kata. Ya, rasa sakit hati memang bisa diderita setiap individu, tanpa memandang latar belakang kebangsaan, keluarga, pendidikan, ataupun jumlah harta kekayaan. Sakit hati rasanya sama di dunia manapun.

Sebagai manusia, tidak ada yang menjamin bahwa kehidupan kita dari bayi sampai lansia bebas dari sakit hati. Tidak ada yang namanya asuransi sakit hati. Asuransi itu tidak didapatkan ketika kita mulai jatuh cinta kepada pasangan ataupun ketika timbul rasa sayang kepada para sahabat. Oleh sebab itu, ketika ada pengkhianatan, maka sakit hati itu tidak bisa dibayar dengan uang dan tidak bisa dihilangkan dengan cepat.

Rasa sakit hati memang lumrah dimiliki setiap orang yang bernapas dan memiliki nyawa karena manusia itu sifat alamiahnya berkompetisi dan tidak mau kalah (Dawkins, 2006). Dalam ilmu psikologi sosial, rasa sakit hati itu bisa timbul karena ada harga diri yang dipertaruhkan (Kruglanski, 2007). Entah itu terkait dengan cinta, kasih sayang, kepercayaan, dan dedikasi atau pengabdian.

Relasi dengan orang lain kadang menimbulkan sakit hati apabila ada harapan atau ekspektasi yang tidak terjadi. Misalnya relasi seorang jenderal militer Sun Bang Yan Gie yang selalu dikhianati sahabatnya dan akhir hidupnya difitnah sebagai seorang pemberontak dan kedua kakinya pun dilumpuhkan (Marcus, 2010). Sakit hati itu juga mungkin timbul dari pasangan yang selingkuh, misalnya pengalaman hidup calon presiden wanita pertama Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Rodham Clinton.

Melihat fakta-fakta sejarah itu, penulis termasuk ke dalam akademisi yang menolak tesis dari pemikir Filipina, Anthony de Mello, SJ, bahwa rasa sakit hati itu timbul karena pilihan pribadi, bukan karena orang lain. Dari perjalanan pribadi penulis dan juga kesadaran akan sejarah dunia, terkadang rasa sakit hati itu timbul karena orang lain, misalnya penembakan peluru kesasar pada saat kerusuhan Mei 1998 di Indonesia dan Demonstrasi Mahasiswa di Lapangan Tianamen China pada tahun yang sama. Keluarga korban pasti sakit hati dan ini bukanlah sebuah pilihan. Seperti sindiran sosial dari Jean-Paul Sartre, L’enfer c’est les autres. Neraka adalah orang lain.

Terkait dengan sakit hati itu, penulis visioner Prancis, Jules Verne, pernah melawak dengan kasar bahwa, “Manusia ingin menjadi robot dan bersikap seperti robot, tapi tidak bisa mencari tombol hidup robot pada tubuhnya”. Artinya adalah Jules Verne mengkritik kekuatan manusia itu sendiri bahwa manusia bersikap seolah-olah tidak punya hati, tetapi manusia itu sadar tidak bisa mematikan rasa hati itu karena tombol hidup robot hanya akan aktif apabila kepekaan rasa hati manusia itu dimatikan dengan sengaja. Manusia tidak akan pernah bisa menjadi robot karena tidak akan pernah bisa mematikan rasa hati tersebut. Dengan demikian, manusia ditakdirkan punya hati, sehingga pasti pernah sakit hati, namun tidak ditakdirkan berlarut-larut dalam rasa sakit hati itu karena ada rasa-rasa lain yang perlu diberi perhatian.

            Kepekaan hati manusia haruslah dipelihara agar tidak menjadi robot seperti sindiran Jules Verne. Dalam kaitannya dengan rasa kebangsaan, memiliki sakit hati pribadi itu lumrah, namun perlu dipikirkan juga posisi kita sebagai individu Indonesia, sehingga individu Indonesia dapat mendefinisikan sakit hati tidak hanya terkait perjalanan hidup pribadi, tetapi perjalanan hidup sebagai sebuah bangsa yang Merkader (Merdeka, Demokrasi, dan Modern), yakni memiliki hati yang peka dan dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun