Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dongeng: Mette dari Norge

19 September 2020   16:08 Diperbarui: 20 September 2020   19:33 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image dari [TheRoadLesTraveled.Com]

Mette tampak berusaha memejamkan mata. Irama nafasnya mulai teratur. Angannya melesat pada seraut wajah tampan, rambut kuning pucat, mata biru teduh, bibir merah yang selalu mengerucut penuh bujuk dan tatapan yang sarat permohonan. Memohon padanya untuk tak sering-sering meninggalkannya. Oh, Tor, maafkan Mamma, Tor, batin Mette merintih.

~(0)~

Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku selalu berakhir di sini?

Mette memandang sekeliling. Sepi. Hijau. Tenang. Dan sebuah gereja Stave berdiri anggun tepat di depannya. Mette mengirimkan senyumnya pada bangunan bersejarah itu, seolah mengatakan: Hai, Aku datang lagi!

Ia memang tak pernah bosan mengagumi gereja tua yang kini terlihat kesepian itu. Tak nampak pengunjung selain dirinya. Tak ada jerit celoteh kanak-kanak, apalagi kehadiran para remaja yang lebih gembira mengobrol di pub daripada berbincang akrab dengan Tuhan. 

Mette menatap lekat-lekat gereja yang keseluruhan konstruksinya itu terbuat dari kayu dan secara menakjubkan rumah ibadah ini konon sudah ada sejak abad pertengahan?

"Owh, kau itukah! Prinsesse? Oh, ya, senang sekali melihatmu lagi!"

Mette sedikit terlonjak ke belakang, tak mengira bila kehadirannya telah diketahui. Padahal setahunya ia telah berusaha sesenyap mungkin tiba di halaman belakang Stave ini.

"Dame...," Mette lekas mendaratkan bukit pipi merah jambunya ke pipi perempuan tua yang ia panggil "Dame." Sosoknya anggun, bijak, tenang, dan tak pernah menanggalkan kerudung hitam dengan renda-renda senada menutupi rambut putihnya.

"Darling, kuharap kedatanganmu kali ini karena kerinduanmu padaku, hmm? Bukan seperti sebelum-sebelumnya. Karena hmm... melarikan diri?" Dame membelai wajah cantik yang tampak benar tengah kesulitan menyembunyikan rasa malunya karena merasa tersindir.

"Ah, Dame..., maafkan aku," Mette tak mampu bicara banyak, hanya sanggup memohon maaf dengan kerjap matanya, disusul pelukan erat pada tubuh tua beraroma sedap menyejukkan itu.

"Baiklah Sayang, baiklah, baiklah...," Dame menepuk-tepuk pelan punggung Mette, kembali membelai lembut rambut pirang indah dengan gaya yang tak macam-macam, lurus saja. 

Tak seperti kebanyakan gadis-gadis muda yang umumnya senang bereksperimen dengan model rambut. Prinsesse-nya ini, seingatnya bahkan tak pernah membubuhkan maskara. Pernah ia tanyakan itu, dan jawabannya sungguh manis didengar. 

Katanya, percuma berdandan Dame, hari ini aku hanya seorang pelayan restoran, pekan depan mungkin aku telah berakhir di sebuah rumah penitipan jompo, pekan berikutnya bisa jadi aku sedang membawa senampan botol minuman di sebuah klub. 

Maskara? Ya, pernah kucoba sekali. Hahaha, aku tetap seorang wanita, Dame. Tapi, kau tahu? Seketika itu anakku menjerit histeris. Tor memang baru 3 tahun, barangkali  ia terlalu terkejut dan mengira aku telah dipukuli ayahnya yang tak pernah ia jumpai sejak tujuh hari usianya.

"Tor?" Dame bertanya seraya menyuguhkan secangkir kaffe, tanpa gula, namun semangkuk kecil cream tetap disajikan sebagai penawar pahit. Mereka tetap bercengkerama di teras belakang walau waktu telah bergeser hingga tengah malam. Namun alam masih belum tidur di Norge, matahari masih seterang lampu penerangan jalan, midnight sun, sebutannya.

"Tor bersama Fru. Ia akan selalu menjaga Tor untukku. Oh, entah apa jadinya bila tak ada Fru. Tuhan mengirimkannya agar aku bisa mengandalkannya di saat-saat darurat. Tuhan memberkati kalian berdua, Fru dan engkau, Dame," pada titik ini Mette mulai kehilangan control dirinya. Perempuan muda itu mulai menangis tersedu-sedu.

"Kau lari dari amukan suami. Kau lari dari debt collector yang menagih hutang suamimu. Kau lari dari boss yang merundungmu...," Dame berkata.

"Aku juga lari karena tak ingin kecanduanku membahayakan Tor," Mette menambahkan daftar pelariannya.

"Iya Sayang, aku senang kau datang kepadaku. Namun ketahuilah Nak, aku tak bisa selamanya ada untukmu, min Prinsesse. Bagaimana kelak kalau aku sudah kembali kepada Penciptaku, hmm?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun