Sekarang ini hanya ada Ki Jeri dan Ki Soros yang sedang duduk berhadapan. Nyi Soros yang sebelumnya berada di sisi suaminya kini beranjak masuk ke rumah, mempersilahkan dua orang tersebut untuk berbicara dengan bebas.
"Begini, Ki Soros. Saya pengawal dari seorang pedagang. Nama Tuan saya Sriram. Sebelum mengutarakan maksud saya, saya ingin bertanya dahulu. Apakah Anda mendengar kabar yang akhir-akhir ini santer terdengar kalau ada segerombolan perampok yang bikin resah di wilayah ini?" Ki Jeri membuka omongan.
"Ya, saya tahu itu. Kalau tidak salah jumlah mereka lumayan banyak. Dan mereka sulit ditangkap."
"Nah, kebetulan dua orang dari kawanan tersebut adalah pengintai yang menyamar sebagai pedagang. Tugas dua orang ini salah satunya adalah mencari informasi mangsa yang akan mereka rampok." Ki Jeri berhenti sejenak sambil memperhatikan reaksi Ki Soros.
"Namun tanpa sengaja seseorang yang kami percaya mengetahui identitas dua orang pengintai itu. Tapi mereka belum tahu kalau sebenarnya kedok mereka telah kami ketahui. Dan sekarang ini dua orang tersebut bersikeras ingin menyertai rombongan kami. Saya mengira mereka akan berusaha merampok Tuan saya di perjalanan kami sekarang ini. Itulah mengapa saya membutuhkan jasa Ki Soros."
"Oh, begitu," Ki Soros menjawab perlahan sambil mengangguk-angguk. "Lalu rencana yang lebih terperinci buat dua orang ini seperti apa, Ki?"
"Saya ingin dua orang ini segera diringkus setelah kami keluar dari desa ini. Lalu keduanya saya titipkan di sini saja, biar selanjutnya ditangani oleh Ki Jagabaya. Dan besok, mereka pastinya akan ada yang menjemput dari pihak prajurit Kadipaten."
"Ki Jeri sepertinya yakin kalau pihak prajurit Kadipaten akan segera membawa mereka esok hari. Apa yang membuat Anda yakin? Bukankah barak prajurit Kadipaten adanya di Desa Turi Agung? Apakah Ki Jeri akan melapor ke sana?"
"Benar, Ki Soros. Mereka penjahat yang licik dan berbahaya. Daripada lama-lama ditahan di desa ini, lebih baik kalau mereka bisa segera ditangani para prajurit saja."
Walau sebetulnya Ki Jeri tidak akan ke Turi Agung, tapi hasilnya akan sama saja. Ia yakin para prajurit yang berada di Desa Merak akan segera membawa dua orang itu bersama gerombolan rampok yang lainnya. Lagi pula tidak perlu juga menjelaskan kepada Ki Soros tentang penyergapan nanti malam.
Maka Ki Jeri dan Ki Soros akhirnya menyepakati harga jasa dan strategi meringkus Vikra dan Bajra. Karena ini rencana mendadak dan belum dibicarakan dengan Ki Sriram, maka Ki Jeri menggunakan uang pribadinya terlebih dulu.
Kemudian Ki Jeri segera kembali ke pelataran kedai kembali berkumpul bersama yang lainnya. Pikirannya sudah lebih lega. Dengan tambahan tenaga dari Ki Soros, ia yakin dengan rencananya. Urusan uang jasa, nanti bisa dibicarakan.
"Kok baru kembali, Ki?" Vikra bertanya setelah Ki Jeri duduk di tempatnya.
Pandangan Ki Sriram juga penuh tanya ke arah Ki Jeri. Tapi ia diam saja karena ia menebak adanya kemungkinan bawahannya yang satu ini sedang merencanakan sesuatu. Sebab raut wajahnya seolah lebih tenang dari sebelumnya.
"Aduh, nggak enak membicarakannya saat sedang makan. Hehe."
Yang lainnya jadi tertawa mendengar jawaban Ki Jeri. Sementara Ki Sriram jadi meragukan tebakannya. Walau begitu, kesemuanya lanjut menikmati hidangan sambil berbincang santai. Sampai melewati tengah hari, rombongan yang kini berjumlah lima orang itu meninggalkan kedai.
Memasuki jalanan di desa, Ki Jeri berinisiatif memimpin rombongan. Ia menempatkan kudanya di bagian terdepan. Ki Jeri menjalankan kudanya secara perlahan sambil mengamati suasana di desa. Beberapa warga yang melakukan aktifitas di halaman depan rumah ia sapa. Di barisan belakang, Ki Sriram dan Ki Wacik merasa heran, tidak biasanya Ki Jeri berperilaku seramah ini kepada orang yang belum ia kenal. Ki Jeri memang bukan orang yang judes, tapi biasanya tidak seramah ini juga.
Meninggalkan lingkungan pemukiman, rombongan ini memasuki wilayah persawahan dan perkebunan milik warga. Sesekali mereka berpapasan dengan pelintas jalan lainnya. Kali ini kuda mereka melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Tapi masih termasuk perjalanan yang lambat. Sekali dua kali ketika ada sesuatu yang menarik mereka saling bertukar ucapan.
Saat tiba di wilayah yang lahannya tidak diolah warga, kondisi jalan penghubung antar desa semakin sepi. Kuda-kuda pun dipacu sedikit lebih cepat. Sampai akhirnya rombongan itu mendekati sebuah hutan yang tidak terlalu luas. Di sisi jalan ada sebuah pohon yang kehilangan semua daunnya. Sebagian besar kayunya terbakar. Namun tumbuhan dan semak di sekitarnya tumbuh dengan baik. Pohon itu terbakar karena tersambar petir.
"Kita berhenti sejenak di sini!" Ki Jeri tiba-tiba berseru sambil mengangkat tangannya.
"Ada apa, Ki Jeri?" Ki Sriram bertanya. Sementara yang lainnya juga memandang Ki Jeri dengan penuh kebingungan.
"Maaf Tuan, saya curiga ada sesuatu yang tidak semestinya di depan sana," Ki Jeri memandang ke arah jalan yang menembus pepohonan.
Ki Jeri lalu turun dari pelana kuda dan mengikat tali kekang kuda di sebatang pohon. Anggota rombongan lainnya pun mengikuti tindakan Ki Jeri dengan sendirinya.
"Ki Jeri yakin ada yang tidak beres yang menanti kita?" Ki Sriram bertanya lagi.
"Entahlah Tuan. Ini hanya firasat saya."
"Ki Vikra dan Ki Bajra, bersiap-siaplah, mungkin kita akan terlibat dalam perkelahian," ucap Ki Jeri sambil memegang gagang goloknya.
Vikra dan Bajra, yang telah mempersiapkan emosi mereka sebelumnya, hanya mengangguk dan mengambil sikap waspada. Mereka semua berjalan sedikit menjauhi kuda.
Tiba-tiba dari balik rerimbunan semak seorang pria bertubuh kekar meloncat menghadang di depan. Dari sisi yang berlawanan, muncul lagi seorang pria berbaju biru tua dengan senjata terhunus. Selanjutnya dari sisi belakang tiga orang muncul dari persembunyian dan menghalangi jalan mundur. Kini rombongan Ki Sriram terkepung.
Ki Jeri awalnya terkejut dengan kemunculan orang-orang ini, tapi selanjutnya wajahnya berangsur lebih tenang. Namun anggota rombongan yang lain terlihat tegang penuh kewaspadaan. Gerombolan penyergap ini tidak menutupi wajah mereka. Wajah mereka menyiratkan ketegasan, tapi jauh dari kesan angker khas orang jahat yang tak berperasaan. Kecuali dua orang yang muncul pertama, tiga orang yang lain membawa senjata yang sederhana.
"Saya kira sekarang ini adalah saatnya," ucap pria berbaju biru tua.
Ki Jeri lalu menghunus goloknya dan menghadap ke arah Vikra dan Bajra. Dengan wajah dingin dan tanpa adanya keramahan seperti yang ia pertontonkan sebelumnya ia berkata, "Vikra dan Bajra, inilah saatnya kalian membuka kedok sebagai pedagang. Aku dan Tuan Sriram sudah mengetahui siapa kalian sebenarnya. Aku tahu kalau pemimpin gerombolan kalian adalah Ki Roso dan Ki Warkes. Dan aku juga tahu kalau kawan-kawan kalian nanti malam akan merampok rumah Ki Sriram. Mumpung kalian belum berulah, sebaiknya kalian segera menyerah saja."
Rentetan kata yang keluar dari mulut Ki Jeri membuat Vikra, Bajra, Ki Sriram, Ki Soros dan Ki Jagabaya yang berbaju biru tua itu terkejut, dengan alasan yang berbeda tentunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI