Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Memoar

8 Februari 2018   18:30 Diperbarui: 8 Februari 2018   21:25 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (seputaraceh.com)

Sudah hampir pukul enam sore dari pesisir pantai ini. Langit mulai menjingga, menyusun warna-warni melalui kilasan cakrawala. Sang surya mulai membenamkan dirinya, sementara aku masih disini. Menunggu entah apa. Kafilah-kafilah angin sore menerpa wajahku. Tangan kananku menyembunyikan rambutku dibalik telingaku, sementara tangan kiriku memegang benda itu.

Aku terhanyut bersama kafilah angin pantai kepada janji-janji semu masa remajaku. Kala itu sore hari. Keadaanya hampir sama seperti detik ini. Tapi bedanya aku tidak sendiri. Aku bersama dengan dia. Seorang pria jangkung berkulit gelap. Mungkin akibat terbakar teriknya matahari pantai yang membara. Dia terlalu tinggi. Sehingga aku harus mendongkakkan kepalaku kepadanya ketika dialog terjadi. “Dik Laras, tunggulah.” seru suara hangat pria itu. Aku tidak menjawab apa-apa, dan alhasil, menciptakan keheningan ditemani terpaan angin pantai yang cukup kuat yang mengisi kesepian diantara kami. Dia meraih tanganku. Memberikan sebuah mutiara sebagai janji bahwa dia akan kembali dengan selamat. Aku tidak berkata apa-apa. Yang kutahu, mutiara sulit didapatkan. Apalagi akhir-akhir ini laut tidak bersahabat. Aku hanya menerima benda itu tanpa banyak berucap. Yang kuingat, aku hanya mengatakan “Jaga diri baik-baik, Mas Danar.” Sebelum dia pergi bersama kapal ikan milik Koh Ahong yang cukup tua dan berjasa bagi warga desa kampung kami.

Aku ingat, ini adalah januari ketiga sejak janji-janji tersebut. Sebelum kata-kata indah nan menyayat hati cukup untuk mengobati kerinduan dan tanya dalam benakku. Dan sampai sekarang, yang dinanti-nanti belum kembali. Terbersit dalam pikiranku untuk mengarungi samudera mencari yang kunanti dan kucinta. Tapi apalah dayaku. Hanya seorang gadis desa tak berpendidikan.

Aku heran setiap kali orang-orang menghentikanku untuk menanti-nanti dia. Dia tidak pergi jauh. Dia masih disini. Menjelma melalui mutiara mengkilap ini. Ada saat dimana keluargaku benar-benar kesulitan untuk mendapatkan sebutir nasi, dan akhirnya mamak menyuruhku untuk menjual dirimu. Aku tidak akan pernah menerima tawaran itu meskipun bayarannya aku akan menikah dengan anak saudagar yang tampan dan cerdas seperti Mas Bagus. Bagiku tidak sebanding dengan Mas Danarku.

Aku ingat seratur dua puluh enam hari sebelum dia pergi melaut. Kami duduk bersama. Di atas kapal ikan milik Koh Ahong yang saat itu kosong dan hanya dihuni oleh kail dan jala. Kau dan aku duduk memandangi matahari yang mulai bersembunyi. Kita memprediksi masa depan yang sepertinya indah sekali. Kita tahu kita tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi kau meyakinkanku akan beberapa hal. Seperti contohnya aku akan tetap menunggumu meski kau pergi jauh dan belum kunjung kembali.

Sudah lama memang. Tapi semua itu masih berbekas di dalam memoriku dengan jelas seakan memutar sesuatu yang orang kota sebut film. Aku bahkan masih ingat dengan jelas warna baju favoritmu yang sering kau kenakan. Baju abu-abu tak bermotif. Aku juga masih ingat dengan jelas senyummu ketika melihatku tertawa lepas. Semuanya tertanam dalam diriku dan tak mau pergi.

Aku memejamkan mataku. Mencoba merasakan terpaan angin dan kembali terbawa kepada saat-saat itu. Saat aku menerima sesuatu darimu. Tidak benar-benar darimu. Tapi kata Asep dia menemukannya di dalam kamar tidurmu. Dan katanya itu tertuju kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum sambil menahan pilu ketika membacanya. Aku berkata, “Tentu saja.” Seakan kau mengharapkan jawaban itu dan telah mendengarnya.

Aku ingat, saat itu. Sebulan sejak kau pergi. Angin badai tak kunjung berhenti. Bahkan sempat merusak beberapa rumah di kampung. Termasuk atap rumahku juga. Mamak jadi khawatir dan kepikiran bagaimana jadinya memperbaiki atap nanti. Sedangkan aku dengan tanpa berdosanya tidak memikirkan hal tersebut sedikitpun, tapi memikirkanmu. Sudah hampir dua minggu dan angin badai belum berhenti. Beberapa warga desa juga khawatir dengan kapal Koh Ahong yang belum kunjung pulang dari melaut. Beberapa memprediksi kapal tersebut sudah termakan amukan samudera karena sudah tua. Aku tidak percaya. Aku tahu kita tidak bisa memprediksi masa depan. Hingga akhirnya hari itu tiba. Seminggu setelah prediksi itu, warga desa menemukan kapal milik Koh Ahong yang hanya tersisa potongan-potongan kayu. Dan aku hancur saat itu juga bersamamu.

Aku tak peduli pada mereka yang mengasihani atau bahkan menertawakanku di belakang. Karena yang kutahu, sejauh manapun bumi yang kurencah, kau akan selalu bersamaku. Dan aku kembali teringat akan pesanmu padaku, “Aku tidak bisa memprediksi masa depan, dik Laras. Tapi kita semua akan pergi pada waktunya. Dan ini pesanku padamu jika waktu itu tiba. Tetaplah hidup.” Dan kita akan abadi bersama waktu, pergi, dan tak kembali.

                                          

Ambon,

8 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun