Aku menatap mereka berdua. Air mata mulai jatuh tanpa bisa kutahan.
"Bu, Pak... nanti kalau saya tidak di rumah, siapa yang bawa telur untuk kepala sekolah?"
Ibu tersenyum, matanya berair. "Mungkin nanti kamu yang akan jadi orang yang menerima telur itu dari anak lain. Saat itulah kamu akan tahu rasanya memberi dan diberi dengan tulus."
Pagi Keberangkatan
Hari itu langit cerah. Di halaman, koper kecil sudah siap. Bapak memanggul tasku ke ojek yang menunggu di depan rumah. Ibu menatapku lama, lalu menaruh sesuatu di tanganku---dua butir telur dibungkus kain kecil.
"Untuk bekalmu, Nak. Bukan untuk dimakan, tapi untuk diingat."
Aku memegang telur itu erat-erat. "Untuk diingat?" tanyaku.
Ibu mengangguk. "Ingatlah, hidupmu harus seperti telur ini---rapuh, tapi menyimpan kehidupan. Jangan pernah biarkan kerasnya dunia membuat hatimu pecah sebelum waktunya."
Bapak menepuk bahuku. "Pergilah, Ris. Sekolah yang rajin. Kalau kamu berhasil nanti, jangan sombong. Ingat dari mana kamu berasal---dari rumah panggung kecil yang mengajarkanmu arti syukur."
Ojek melaju perlahan di jalan berlumpur. Aku menoleh ke belakang---melihat Bapak dan Ibu melambaikan tangan. Di bawah rumah, itik-itik mulai ribut lagi, seolah ikut mengantar.
Di dadaku, aku tahu satu hal: perjalanan ini bukan sekadar pergi ke sekolah baru. Ini adalah langkah pertama untuk memahami pesan hidup yang selama ini diselipkan Ibu di setiap butir telur.