(Kisah sederhana tentang keikhlasan dan makna memberi)
Pagi itu kabut tebal menggantung di kebun teh Tangkil. Rumah-rumah panggung di lereng bukit masih diselimuti embun. Dari bawah rumah kami, suara itik sudah ribut, saling bersahutan seperti paduan suara yang tak sabar ingin keluar kandang.
"Ris... ayo bangun, Nak. Itiknya sudah minta keluar," panggil Bapak dari dekat tungku.
Asap dari bara kayu berputar di udara. Bapak duduk di kursi kecil, mengenakan sarung dan jaket pudar. Wajahnya hangat diterpa cahaya api yang berpendar di antara abu.
Aku turun perlahan, menggeliat kecil. Udara pagi terasa menggigit, tapi suara itik di bawah rumah seolah memanggil. Begitu kunci kandang kuputar, wek-wek-wek! Itik-itik itu berhamburan keluar, berlari menuju sungai kecil di ujung sawah---tempat biasa mereka mandi sebelum mencari makan.
"Itik-itik itu rajin ya, Pak. Tak pernah terlambat," kataku sambil mengusap lengan yang menggigil.
Bapak tersenyum. "Mereka tahu waktunya bekerja, Nak. Hidup memang harus begitu. Siapa yang malas bergerak, akan ketinggalan oleh rezekinya sendiri."
Aku menatap wajah Bapak. Garis-garis tua di dahinya seperti jejak kerja keras yang tak pernah berhenti.
Telur di Jerami
Ketika kandang sudah kosong, aku melihat bola-bola putih bergelimpangan di jerami. "Pak! Banyak telurnya hari ini!" seruku.
Dari atas rumah, Ibu turun dengan langkah hati-hati, membawa baskom besar. "Hati-hati, jangan sampai pecah," katanya lembut.
Kami mulai mengumpulkan telur-telur itu satu per satu. Ibu memungutnya dengan telaten, seperti sedang memungut harapan.
"Sabtu nanti kita bawa ke pasar Kersik Tuo. Kalau lagi mujur, harga bisa naik," ujarnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum. Aku suka ikut ke pasar. Di sana ramai, penuh warna dan aroma tanah basah. Lapak kami kecil, tapi Ibu selalu menatanya dengan rapi.
Namun, kadang tak semua telur laku. Ada yang cangkangnya retak, tak bisa dijual. Tapi Ibu selalu bilang,
"Yang retak ini masih rezeki, Ris. Untuk tetangga. Mereka juga manusia, sama seperti kita---butuh makan dan butuh senyum."
Aku sering diam saja, tapi di hati kecilku ada rasa heran. Kenapa Ibu tetap memberi, padahal kami pun tak punya banyak?
Telur untuk Kepala Sekolah
Suatu pagi, hari Senin. Langit abu-abu, dan suara ayam jantan terdengar dari jauh. Ibu memanggilku sebelum berangkat sekolah.
"Ris, bawakan ini untuk Kepala Sekolahmu," katanya sambil menyerahkan bungkusan kecil dari koran bekas.
Aku mengerutkan kening. "Ibu, lagi-lagi untuk beliau? Kita saja makan telur cuma seminggu sekali."
Ibu berhenti sejenak, menatapku dengan mata lembut tapi dalam.
"Ris," katanya pelan, "kalau kamu memberi hanya saat kamu punya banyak, itu bukan namanya berbagi. Tapi kalau kamu bisa memberi saat kamu juga butuh, itulah yang disebut hati lapang. Kebaikan bukan soal besar kecilnya, tapi soal keikhlasan."
Bapak ikut bicara, suaranya berat tapi tenang.
"Orison, rezeki itu seperti air sungai. Kalau kamu biarkan mengalir, dia jernih. Tapi kalau kamu tahan, dia jadi keruh. Jadi jangan takut berkurang karena memberi. Justru dari situlah hidupmu dilimpahkan hal-hal yang tak bisa dibeli."
Aku menunduk, menatap bungkusan itu lama. Akhirnya aku berkata pelan,
"Baik, Bu. Akan saya sampaikan."
Di Sekolah
Setelah upacara bendera, aku menghampiri ruang kepala sekolah.
"Selamat pagi, Pak," sapaku.
"Oh, Orison! Ada apa?" katanya ramah.
Aku menyerahkan bungkusan kecil itu. "Ibu nitip, Pak. Katanya ini telur itik dari rumah."
Kepala sekolah menerimanya hati-hati, lalu tersenyum. "Dari Ibumu lagi? Padahal saya tahu, hidup kalian sederhana."
Aku tak menjawab, hanya menunduk.
Beliau menatapku dalam. "Sampaikan terima kasih pada Ibumu, ya. Orang seperti beliau mengingatkan saya bahwa kaya bukan soal isi dompet, tapi isi hati. Kadang orang yang sedikit justru memberi lebih banyak daripada yang berlimpah."
Aku mengangguk pelan. Ada sesuatu yang hangat terasa di dada, seperti bara api yang hidup pelan-pelan.
Setahun Kemudian
Waktu berlalu cepat. Musim hujan datang, itik-itik semakin gemuk, dan kandang kami semakin sesak. Tapi di sisi lain, kehidupan di Tangkil tak banyak berubah---listrik masih sering padam, jalan berlumpur, dan sekolahku sering kekurangan guru.
Suatu sore, Bapak duduk di depan rumah, menatap jalan tanah yang becek.
"Ris," katanya, "tahun depan kamu pindah sekolah ke kota, ya. Di sana lebih baik, guru lebih banyak. Kamu harus belajar lebih tinggi. Jangan seperti Bapak, berhenti di SD."
Aku kaget. "Pindah sekolah, Pak? Tapi... saya tidak mau meninggalkan Ibu. Dan itik-itik kita?"
Bapak tersenyum kecil. "Itik bisa dijaga Ibu. Tapi masa depanmu harus kamu jaga sendiri."
Ibu keluar dari dapur, membawa segelas air hangat. "Nak, kadang cinta itu bukan selalu menahan, tapi melepaskan ke tempat yang lebih baik. Ibu tahu, kamu berat pergi. Tapi kalau kamu tetap di sini, kamu takkan pernah tahu seberapa jauh kamu bisa terbang."
Aku menatap mereka berdua. Air mata mulai jatuh tanpa bisa kutahan.
"Bu, Pak... nanti kalau saya tidak di rumah, siapa yang bawa telur untuk kepala sekolah?"
Ibu tersenyum, matanya berair. "Mungkin nanti kamu yang akan jadi orang yang menerima telur itu dari anak lain. Saat itulah kamu akan tahu rasanya memberi dan diberi dengan tulus."
Pagi Keberangkatan
Hari itu langit cerah. Di halaman, koper kecil sudah siap. Bapak memanggul tasku ke ojek yang menunggu di depan rumah. Ibu menatapku lama, lalu menaruh sesuatu di tanganku---dua butir telur dibungkus kain kecil.
"Untuk bekalmu, Nak. Bukan untuk dimakan, tapi untuk diingat."
Aku memegang telur itu erat-erat. "Untuk diingat?" tanyaku.
Ibu mengangguk. "Ingatlah, hidupmu harus seperti telur ini---rapuh, tapi menyimpan kehidupan. Jangan pernah biarkan kerasnya dunia membuat hatimu pecah sebelum waktunya."
Bapak menepuk bahuku. "Pergilah, Ris. Sekolah yang rajin. Kalau kamu berhasil nanti, jangan sombong. Ingat dari mana kamu berasal---dari rumah panggung kecil yang mengajarkanmu arti syukur."
Ojek melaju perlahan di jalan berlumpur. Aku menoleh ke belakang---melihat Bapak dan Ibu melambaikan tangan. Di bawah rumah, itik-itik mulai ribut lagi, seolah ikut mengantar.
Di dadaku, aku tahu satu hal: perjalanan ini bukan sekadar pergi ke sekolah baru. Ini adalah langkah pertama untuk memahami pesan hidup yang selama ini diselipkan Ibu di setiap butir telur.
Hikmah Cerita
* Memberi bukan karena berlebih, tapi karena peduli.
* Cinta orang tua sering kali diwujudkan dalam diam---melalui ketulusan, bukan kata-kata.
* Setiap perjalanan adalah ujian untuk membawa nilai-nilai baik yang kita pelajari dari rumah.
Yang sederhana sering kali justru paling berharga, karena dari kesederhanaan lahir ketulusan
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI