Kepala sekolah menerimanya hati-hati, lalu tersenyum. "Dari Ibumu lagi? Padahal saya tahu, hidup kalian sederhana."
Aku tak menjawab, hanya menunduk.
Beliau menatapku dalam. "Sampaikan terima kasih pada Ibumu, ya. Orang seperti beliau mengingatkan saya bahwa kaya bukan soal isi dompet, tapi isi hati. Kadang orang yang sedikit justru memberi lebih banyak daripada yang berlimpah."
Aku mengangguk pelan. Ada sesuatu yang hangat terasa di dada, seperti bara api yang hidup pelan-pelan.
Setahun Kemudian
Waktu berlalu cepat. Musim hujan datang, itik-itik semakin gemuk, dan kandang kami semakin sesak. Tapi di sisi lain, kehidupan di Tangkil tak banyak berubah---listrik masih sering padam, jalan berlumpur, dan sekolahku sering kekurangan guru.
Suatu sore, Bapak duduk di depan rumah, menatap jalan tanah yang becek.
"Ris," katanya, "tahun depan kamu pindah sekolah ke kota, ya. Di sana lebih baik, guru lebih banyak. Kamu harus belajar lebih tinggi. Jangan seperti Bapak, berhenti di SD."
Aku kaget. "Pindah sekolah, Pak? Tapi... saya tidak mau meninggalkan Ibu. Dan itik-itik kita?"
Bapak tersenyum kecil. "Itik bisa dijaga Ibu. Tapi masa depanmu harus kamu jaga sendiri."
Ibu keluar dari dapur, membawa segelas air hangat. "Nak, kadang cinta itu bukan selalu menahan, tapi melepaskan ke tempat yang lebih baik. Ibu tahu, kamu berat pergi. Tapi kalau kamu tetap di sini, kamu takkan pernah tahu seberapa jauh kamu bisa terbang."