Jika amarah rasanya sudah di ubun-ubun, ayuuk tarik napas dalam-dalam, tinggalkan ruangan sejenak  jika kondisi memungkinkan, lalu tenangkan diri sebelum berbicara.
Kita juga bisa menerapkan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Saat kita emosi atau marah dalam posisi berdiri sebaiknya duduk. Bila dalam keadaan duduk disarankan untuk berbaring. Bila berbaring masih juga belum reda, ambil air wudhu. Karena sesungguhnya amarah itu dari syetan. Syetan diciptakan dari api. Dengan berwudhu insya Allah reda amarah itu.
Ketiga, "Sudah, diam kamu."
Anak-anak belajar untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kebutuhan mereka melalui berbicara. Ketika kita membungkam mereka dengan paksa, kita memberi sinyal bahwa ekspresi mereka tidak penting atau tidak valid. Ini bisa menghambat kemampuan mereka untuk mengelola emosi secara sehat dan membuat mereka memendam perasaannya. Pada akhirnya anak menjadi kurang atau tidak percaya diri.
Terkadang, di balik celotehan atau tangisan anak, ada pesan penting atau kebutuhan yang ingin mereka sampaikan.
Dengan membungkam mereka, kita kehilangan kesempatan untuk memahami akar permasalahan dan memberikan solusi yang tepat.
Libatkan anak dalam belajar bagaimana berkomunikasi dengan efektif, seperti menunggu giliran, berbicara dengan sopan, dan mendengarkan orang lain.
Membimbing anak agar mereka bisa mengungkapkan diri dengan cara yang sehat adalah bagian penting dari perkembangan mereka. Daripada membungkam, mari kita ajarkan mereka bagaimana menggunakan suara mereka dengan bijak.
Keempat, "Kamu bikin malu".
Anak-anak belajar tentang siapa diri mereka dari perkataan dan reaksi orang tua. Ketika dibilang "bikin malu," anak akan merasa dirinya sendiri yang buruk, bukan hanya perilakunya. Ini menghancurkan harga diri dan menciptakan citra diri negatif yang bisa terbawa hingga dewasa.
Mereka mungkin merasa tidak pantas, tidak berharga, atau selalu menjadi penyebab masalah.