Bromo memiliki banyak obyek, sekaligus memberi daya tarik. Â Bromo selalu cantik dan eksotik kapanpun dipandang. Â Bromo seolah selalu mengundang semua orang.
"Kemarilah, datanglah kepadaku, lihatlah aku, sapalah aku", kira-kira itu yang dikatakan gunung Bromo.
 Memang popularitas Bromo sangat luar biasa.  TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) adalah taman nasional yang paling banyak didatangi pengunjung, menghasilkan pemasukan (pendapatan negara bukan pajak, BNBP) melebihi 20 miliar rupiah (1).  Dalam suatu kesempatan seminar, pernah kepala Balai TNBTS berkata, bahwa Bromo sudah sangat populer.  Keunikannya sudah dikenal banyak orang, sehingga promosinya sudah menyebar kemana-mana, melekat di pikiran banyak orang, hingga manca negara.
Saya sudah tidak terhitung pergi ke area Bromo dan sekitarnya, untuk berbagai keperluan atau ke obyek  yang ada misalnya lautan pasir, bukit teletubis, puncak bromo, penanjakan, ranu pane, ranu regulo, coban Pelangi, B29, tradisi karo atau ke desa Ngadas (sebagian posting di blog pribadi atau kompasiana  1, 2, 3, 4 , 5, 6, 7, termasuk tulisan terakhir)
 Tamu, teman atau saudara yang sedang dinas atau urusan lain ke Malang, selalu punya prioritas memilih Bromo untuk tujuan wisatanya.  Ini hampir dialami oleh teman-teman lainnya.  Bromo mudah dijangkau dari mana saja, melalui jalur dari Malang, Pasuruan, Probolonggo, atau Lumajang.  Aksesnya semakin mudah dan nyaman.
Udara di senja hari juga dingin menusuk. Â Bila pengunjung hadir di Penanjakan, katakan mulai jam 16.30 maka akan merasakah berangsur-angsur perubahan suhu makin dingin, menusuk dan menggigil. Â Telapak tangan akan terasa kaku dan beku, seperti memegang es batu. Â Hidung mungkin juga akan bereaksi mengeluarkan air. Â Itu semua adalah hal yang alamiah. Â Siapkanlah baju hangat agar badan nyaman beradaptasi dengan udara dingin.
Pemandangan senja ke arah mana saja dari Penanjakan memberikan warna yang redup. Â Warna vegetasi hanya sedikit lebih gelap dibanding lautan pasir. Â Namun garis caldera Bromo masih menampakkan bentuknya melingkupi lansekap alam. Â Asap putih mengepul dari kawah Bromo juga masih nampak, seolah membentuk garis maya di langit.Â
Pengunjung dapat naik tribun lebih tinggi di Penanjakan, untuk melihat sisi utara. Disana terhampar lansekap laut dan pantai Pasuruan. Lekukan pantai membentuk garis yang memisahkan laut biru yang gelap oleh temaram senja.
Suasana senja itu sangat hening. Â Hening yang menciptakan suasana syahdu. Â Betapa alam ini, Penanjakan, Bromo dan sekitarnya, menunjukkan maha karya yang agung dari penciptaNya. Â Keheningan mendorong hati dan perasaan manusia sangat kecil dibanding alam, apalagi terhadap sang Pencipta. Â Perasaan kecil, bukan siapa-siapa, dan tak berarti menyatu dalam hati. Semua yang besar, yang agung, yang berpunya, hanyalah Dia.Â
Malang, 22 Nopember 2018
Buku yang sudah diterbitkan:
- Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
- Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2Â
- Iwan Nugroho. 2013. Budaya Akademik Dosen Profesional. Era Adicitra Intermedia, Solo. 169p. ISBN 978-979-8340-26-0
- Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1Â
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
- Iwan Nugroho. 2018. Menulis, Membangun kekuatan dan motivasi kehidupan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 155p. ISBN 9786022299271