Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyaksikan Tradisi Karo di Desa Ngadas, Malang

23 Oktober 2013   06:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_296626" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Pesona alam wilayah Bromo Tengger dan Semeru sudah dikenal di seluruh dunia. Pesona itu berbalut dengan kehidupan budaya penduduk asli Tengger. Momentum budaya Tengger yang populer adalah perayaan Kasodo (dilaksanakan pada bulan ke sepuluh pada kalender Saka). Upacata adat Kasodo memiliki makna penghormatan terhadap asal usul suku Tengger. Suku Tengger, menurut legenda, adalah merupakan keturunan Roro Anteng dan Joko Seger (disingkat Teng-ger). Kehidupan suku Tengger sangat kaya dengan tradisi. Salah satu momentum tradisi yang besar, selain Kasodo, adalah upacara Adat Karo atau Hari Raya Karo. Hari Raya Karo dilaksanakan mulai tanggal 7 hingga 22 bulan Karo (Karo dimaknai sebagai bulan kedua dalam kalender Saka), dengan beragam prosesi adat. Hari Raya Karo bagi suku Tengger merupakan perwujudan syukur atas berkah yang diberikan Tuhan serta penghormatan kepada leluhur mereka. Dalam tadisi Karo, berbagai ritual dilakukan antara lain Doa Petren, Kauman, Tayuban, Tumpeng Gede, Sesanti, Sedekah panggonan (tamping), dan berakhir dengan ritual Sadranan serta Ojung (sumber Suryaonline). Tradisi Karo selama kurang lebih dua minggu itu dijalankan penduduk Tengger di empat wilayah kabupaten, yakni Ngadisari-Probolinggo, Wonokitri-Pasuruan, Ngadas-Malang, dan Ranupane-Lumajang). [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="pengalaman mengundang penduduk Tengger di kampus, koleksi pribadi"]

[/caption] Pada tanggal 21 Oktober 2013, penulis berkesempatan mengunjungi desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang; untuk menyaksikan sebagian prosesi ritual tradisi Karo.Ini adalah kunjungan kesekian kalinya mengunjungi desa Ngadas, sekaligus untuk update bagi kepentingan riset penulis.Baru kali ini penulis menyaksikan dari dekat tradisi Tengger yang memang dikenal unik. [caption id="" align="aligncenter" width="499" caption="peta desa Ngadas, koleksi pribadi"]
peta desa Ngadas, koleksi pribadi
peta desa Ngadas, koleksi pribadi
[/caption] Penulis berangkat dari Malang jam 6.00 pagi bersama dengan Purnawan atau Pupung (Walhi Jatim, juga dosen Universitas Widyagama Malang) dan Hari (wartawan majalah Greeners).Kami sudah dikondisikan oleh pak Mulyadi (tokoh desa Desa Ngadas), agar datang awal untuk menyaksikan tumpeng gede (tumpeng besar).Persahabatan dengan keluarga pak Mul sudah lama terjalin. [caption id="attachment_273484" align="aligncenter" width="300" caption="gapura desa Ngadas, koleksi pribadi"]
13824811161795925080
13824811161795925080
[/caption] Perjalanan sejauh kira-kira 48 kmini menempuh sekitar dua jam lebih.Rute sepanjang 30 km pertama merupakan jalan raya beraspal(hingga desa Gubukklakah).Namun setelah itu merupakan jalanan gunung, lebih tepatnya makadam beton, dengan sekali-kali bergelombang dan berlobang.Hanya mobil jip atau truk yang aman lewat jalan ini, dengan kecepatan tidak lebih 25 km per jam.Penulis berkali-kali lewat jalanan gunung ini, tidak pernah sedikitpun jenuh atau bosan.Pemandangan hutan gunung (pegunungan Tengger) ini senantiasa menampilkan keindahannya.Wilayah ini merupakan kawasan konservasi dalam otoritas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).Tantangan TNBTS ini sangat berat karena berhadapan dengan ancaman konservasi khususnya pada lahan-lahan penduduk.Di beberapa tempat, lahan pertanaman dibudidayakan searah kontur sehingga berpotensi erosi.Kurang lebih jam 8.15 penulis sudah memasuki pemukiman desa Ngadas. [caption id="attachment_273483" align="aligncenter" width="395" caption="spanduk tradisi Karo, dengan foto dukun Ngantrulin, koleksi pribadi"]
138248091657121774
138248091657121774
[/caption] Sesudah bersilaturahim sejenak dengan pak Mulyadi dan keluarga, penulis langsung menuju tempat tumpeng besar. Penulis diantar ke suatu pertigaan jalan desa dimana ada terop (tenda besar) dengan bunyi keramaian musik. Tenda berukuran 6 x 6 berwarna merah itu, diramaikan dengan dua spanduk perayaan Karo. Sebuah spanduk nampaknya disumbang oleh caleg DPR Pusat dapil Malang. Hal yang ironi dan mengganggu suasana tradisionil. [caption id="attachment_273485" align="aligncenter" width="300" caption="Ritual Karo, koleksi pribadi"]
13824814971855539965
13824814971855539965
[/caption] Di bawah tenda terdapat panggung musik gamelan, sederet buah, makanan dan jajanan, serta dua orang tokoh (berbaju hitam berselendang kuning) yang sedang menjalani ritual tertentu.Suasana saat itu belum terlalu ramai.Nampak pula para fotografer sedang membidik dua tokoh yang sedang mendoakan seorang ibu.Sementara ibu-ibu lain mengantri di belakangnya.Mungkinkah ini ritual Kauman.Penulis sempat mendekat tenda, sambil mencari-cari tumpeng gede.Mungkin tumpeng masih disimpan.Karena kerumunan orang bertambah, penulis akhirnya mundur sambil mengamati perkembangan yang terjadi.

[caption id="attachment_273496" align="aligncenter" width="300" caption="Penulis dan dukun Aman, koleksi pribadi"]

[/caption] Dua tokoh nampaknya sudah menyelesaikan tugasnya.Penulis sempat berkenalan dengan dua tokoh tersebut, yaknipak Sutik dan Sutrawi.Merekaadalah dukunyang berasal dari desa Sambi Kerep.Mereka didatangkan karena dukun desa Ngadas, yakni Ngantrulin, saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Penulis juga bertemu dengan dukun Aman (putra dukun Ngantrulin). Penulis juga berkenalan dengan pak Mujianto (kepala desa Ngadas yang baru dilantik bulan mei 2013), yang rumahnya tepat di depan tenda.

[caption id="attachment_273487" align="aligncenter" width="417" caption="Hiburan tari Remo, tradisi karo, Koleksi pribadi"]

[/caption] Kehadiran penduduk desa semakin ramai sehingga memenuhi jalan dan sekitar tenda.Saat itu sedang dimainkan tarian remo yang nampaknya menjadi hiburan.Tarian dimainkan oleh dua orang, yang bukan penduduk asli Ngadas; sehingga kesan hiburan semakin nyata.Bahkan nada remo pun dirubah ke dangdut.Ini kiranya yang disebut tayuban. [caption id="attachment_273488" align="aligncenter" width="300" caption="berebut tumpeng gede, tradisi karo, koleksi pribadi"]
13824819611485334132
13824819611485334132
[/caption] Sekitar jam 10.00, hiburan remo atau tayuban berakhir.Penulis sedikit lengah mengamati perkembangan di bawah tenda.Kini yang nampak adalah ramainya penduduk mengambil makanan atau jajanan.Ada kesan berebut tetapi tertib.Nampak dua remaja sedang memasukkan buah dan panganan ke dalam plastik kresek.Ternyata itu bukan untuk dirinya, tetapi diberikan ke penduduk yang lain.Jumlah yang diambil pun sebenarnya relatif sedikit, mungkin hanya untuk ukuran dua orang.Pemandangan ini menarik bagi penulis.Berebut makanan itu ternyata hanya merupakan atraksi saja, semangat untuk berbagi.Kenyataannya acara hingga selesai, masih banyak jajanan tersisa di atas panggung.Dimanakah tumpeng gede? Penulis baru sadar, tumpeng gede itu adalah deretan makanan di atas panggung yang diperebutkan banyak orang tadi.Bukan nasiberbentuk gunungan seperti umumnya tumpeng. [caption id="attachment_273490" align="aligncenter" width="300" caption="berbincang dengan kades Ngadas, Mujianto (tengah), koleksi pribadi"]
13824822952108432262
13824822952108432262
[/caption] Oleh kepala Desa penulis tidak diperkenankan meninggalkan tempat.Penulis dan para wartawan diminta makan.Ini saat-saat waspada karena harus mengendalikan diri terhadap makanan.Mengapa?Karena tawaran bersilaturahim (anjangsana) identik dengan makan.Kami menuju meja makan di ruang tengah dengan menu ‘daging sapi’ krengsengan dan empal. Selesai makan kami pun disediakan kopi, dengan aroma khas kopi kental.Pak Mujianto dengan ramah menjelaskan bahwa Tradisi Karo juga punya makna mengenang leluhur Tengger bernama Setya dan Setuhu.Dua orang itu bersikukuh dan terlibat pertengkaran karena memegang amanah untuk membawa keris Ajisaka (lihat ceritanya). Prosesi ritual tumpeng gede juga penuh dengan makna.Tumpeng gede merupakan sumbangan dari seluruh penduduk desa, berupa buah, jajanan dan makanan.Tumpeng gede itu sudah diberi doa-doa kebaikan dan keberkahan oleh dukun.Setelah itu, tumpeng gede diperebutkan dan dibagi kepada penduduk yang lain, terutama yang kekurangan.“Ini punya makna sejenis dengan sedekah makanan”, kata pak Mujianto.

Sesanti, tradisi karo, koleksi pribadi Kami kemudian kembali ke rumah pak Mulyadi. Penulis berpikir kini saatnya persiapan untuk kembali ke Malang. Ternyata meleset. Kami diminta untuk menyaksikan ritual lainnya, yang dilakukan di (setiap) rumah penduduk Tengger. Kali ini adalah ritual Sesanti, yang dilakukan di rumah pak Sutrisno. Sesanti di rumah pak Mulyadi sudah selesai sebelumnya. Dalam ritual ini, seorang dukun (dibantu asisten dukun) mendatangi rumah penduduk untuk memberikan doa ampunan, rasa syukur, kesehatan, tolak balak dan rejeki. Di ruang tamu pak Sutrisno, dukun menghadap ke meja sesajen unik yang ditata khusus (termasuk hiasan bunga edelweis) dengan hiasan kain berwarna merah, dan tentu alat bakar menyan (dupa). Doa dilakukan tidak lebih sepuluh menit dengan mendatangi pawon (dapur). Sesajen ritual sesanti terdiri nasi, lauk dan ketan arang abang. Selesai ritual, pemilik rumah menyampaikan ucapan terimakasih dengan memberikan makanan dan angpau.

[caption id="attachment_273494" align="aligncenter" width="300" caption="makan siang di pawon rumah pak Mulyadi, koleksi pribadi"]

[/caption] Kami kemudian kembali ke rumah pak Mulyadi.Kami ngobrol seputaran tradisi Karo, sambil menunggu seorang dukun untuk ritual kroyan.Penulis bertanya, “Berapa rata-rata pengeluaran setiap keluarga untuk seluruh ritual Karo”. “ Tergantung, kira-kira paling sedikit tiga juta rupiah.Ada juga yang mencapai 10 juta rupiah bila ia mengundang tamu yang cukup banyak”, jawab pak Mul..Sambil menunggu kedatangan dukun ‘ngroyan’, kami diminta untuk pergi ke dapur untuk makan siang.Kali ini kami melahap menu gule ayam bumbu desa, gule tanpa santan yang sedap.Pawon atau dapur punya tempat penuh makna dalam kehidupan warga Tengger.Pawon bukan saja tempat untuk menghangatkan badan, tetapi juga untuk komunikasi, rembugan dan harmonisasi keluarga. [caption id="attachment_273493" align="aligncenter" width="240" caption="dukun memberi doa ritual kroyan, tradisi karo, koleksi pribadi"]
1382483035140481622
1382483035140481622
[/caption] Yang ditunggu pun tiba.Seorang pria berbaju hitam tanpa selendang sudah di ruang tamu.Dukun kroyan itu sudah siap menyampaikan doa dihadapan meja penuh dengan makanan.Ia mengkroscek list sesajen yang ada. Makanan sudah ditata dalam wadah daun pisang yang unik, seukuran satu porsi makan.Hadir pula beberapa tetangga untuk bersilaturahim.Doa kroyan memiliki makna keselamatan, perlindungan bagi tempat-tempat seperti rumah, sungai, jalan, hutan, [caption id="attachment_273497" align="aligncenter" width="300" caption="Pupung, dukun kroyan dan penulis (koleksi pribadi)"]
1382484182156389137
1382484182156389137
[/caption] dan ladang.Doa disampaikan dengan suara keras dan di’nggih’kan (maksudnya diaminkan) oleh yang hadir, selama kurang lebih lima belas menit.Selesai doa kroyan, kembali kami dan tamu mencicipi hidangan..Kenyang deh.. Ritual berikutnya adalah sedekah panggonan, atau disebut tamping.Tamping ini adalah mengirim makanan (wadah daun pisang yang sudah diberi doa dukun kroyan) ke beberapa tempat tertentu.Pak Mulyadi mengajak kami untuk pergi ke tiga tempat menuju ke arah Jemplang.Tamping itu diletakkan di [caption id="attachment_296627" align="aligncenter" width="252" caption="Jemplang, TN BTS (koleksi pribadi)"]
13825115301303353190
13825115301303353190
[/caption]

sekitar Jemplang, yang merupakan tempat strategis yang menghubungkan Ngadas, lautan pasir, Nongkojajar dan Ranupani.Posisi Jemplang sejauh dua kilometer dari desa Ngadas.Di Jemplang, penulis mengamati ramainya mobil parkir dan para pendaki yang mau turun ke Malang.Banyak sekali perubahan fisik di Jemplang dalam dua tahun terakhir. Jalan sudah diaspal halus.Selain bangunan warung dan area parkir, juga sedang dibangun kantor tiket TNBTS.Semoga upaya perbaikan fisik diikuti dengan lahirnya entrepreneur ekowisata sehingga memberi kesejahteraan bagi masyarakat.

Usai sudah kegiatan hari itu untuk menyaksikan acara tradisi Karo.Kami pun pamit kepada pak mul dan keluarga untuk kembali Malang.Banyak sekali pengalaman budaya Tengger didapat.Tradisi Karo ini masih belum berakhir.Pada hari Minggu 27 Oktober 2013, akan dilakukan ritual Sadranan yang dilaksanakan di makam desa. Prosesi Sadranan jauh lebih ramai dibanding ritual sebelumnya, dengan undangan yang lebih banyak. Penduduk dengan pakaian baru mengunjungi (nyekar) makam keluarga, kerabat, atau orang-orang yang dihormati.

Lembah Panderman, 23 Oktober 2013.

Lihat tulisan sebelumnya:

  1. Apa Kabar Opa Fergi, Liga Inggris
  2. Idul Adha Usai, Kembali ke Kehidupan…
  3. Tersenyum, Solusi di Saat Haji
  4. Wajah-wajah…Saat Berhaj

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun