Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diajeng Puspa Parasayu

23 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:04 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku termenung tuk ke sekian kali. Opa telah berbuat banyak bagi kami. Aku dan setiap pekerja diperlakukannya begitu baik, seperti anak sendiri. Sementara kami terkadang tak acuh padanya. Padahal Opa tak berharap banyak. Sekadar perhatian kecil dan sungging senyuman membuat matanya berbinar. Namun aku kerap luput melakukannya.

Kepergian Opa menyisakan duka mendalam. Rasa sedih di hati seakan terus melekat. Entah, rasa itu begitu kuat. Hari-hari yang kujalani terasa hampa. Opa menjelma belahan jiwa. Kepulangannya meninggalkan ruang kosong. Kesedihan yang kurasa tanpa kusadari terbaca oleh Mamih. Meski jauh, ia memaklumi hal ini. Mamih mengenal Opa dengan baik. Lewat cerita-cerita di telpon, kusampaikan padanya kebaikan hati Opa. Kesendirian Opa, dan kehidupan keluarganya yg misterius. Mamih biasa tak banyak berkata. Ia hanya tersenyum kecil, atau berkata, "O, begitu ya!" Meski begitu, Mamih memiliki keperdulian yg besar pada Opa. Ia selalu bertanya kabar Opa. 

"Tak baik bersedih lama2, Nduk", kata suara di belakangku. 

Suara yg kukenal dgn sangat baik. 

"Lho, Mamih!" 

"Kapan datang dari Jogja?" 

"Tadi pagi, dianter Pakle mu". 

Kedatangan Mamih menguatkan aku. Memupus kesedihan yg selama ini kurasa. 

"Esok pagi, antar Mamih ke pusara Opa". 

"Mamih ingin menemuinya Nduk meski terlambat". Suara Mamih trcekat. Samar terlihat linangan air di matanya

 "Salam jumpa, Brian", ucap Mamih. Bersimpuh di tanah makam yang basah dengan  taburan bunga mawar  yang sebagian masih segar, Mamih khusuk mendaras Surat Yasin. Di akhir ziarahnya, Mamih memanjatkan doa untuk para ahli kubur, terkhusus Opa yang ia sapa Brian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun