Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diajeng Puspa Parasayu

23 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran Opa, begitu kami menyebutnya, di kantor seperti orang tua sendiri. Kepadanya kami merasa takzim. Ia karyawan yang turut membesarkan perusahaan. Sejak berdiri hingga memiliki lima cabang saat ini, Opa tak pernah absen. Rasa memiliki Opa pada tempat yang ia besarkan ini begitu besar. Saat memasuki usia pensiun, Opa tak ingin mundur. Ia bersikeras terus membaktikan diri. Terus bekerja di bagian apa saja. Melihat kesungguhan Opa, pemilik perusahaan tetap memberi tempat padanya. Tak hanya itu, Opa diperkenankan menempati satu ruangan di kantor. Tempat Opa beristirahat selepas kerja. Opa memang tak memiliki keluarga. Sanak saudara Opa berada di luar pulau. Pagi itu Opa belum tampak seperti biasa. Kami mengira ia masih beristirahat di kamar. Sebagai orang yg telah uzur Opa biasa mengeluhkan kesehatannya. Namun tak ada penyakit serius yg diidapnya. Keberadaan Opa tidak diketahui hingga terdengar teriakan seorang rekan. 

"Masya Allah, Opa!"

 Didapati Opa terlentang di kamar mandi dalam keadaan telah meninggal dunia.

Aku termenung memandangi jasad Opa. Aku teringat peritiwa dua hari yang lalu, saat baru masuk kerja selepas cuti melahirkan. Opa menyambut dgn wajah sumringah. 

"Maaf ya Nak Puspa, Opa blm nengok putranya", kata Opa.


"Tidak apa Opa, terima kasih banyak", jawabku. 

Aku tak menghiraukan Opa yg terlihat masih ingin mengobrol denganku. Perhatianku terenggut olah rekan-rekan yang bergantian memberi ucapan selamat. Selintas kulihat Opa melangkah pergi meninggalkan kami. Tak seorang pun menemaninya. Opa terus melangkah menuju pintu keluar. 

"Lihat ini Pa!" Sekar berbisik seraya menarik tanganku. 

Diarahkannya pandanganku pada amplop putih di atas meja. 

"Teruntuk Nak Puspa. Selamat berbahagia atas kelahiran jagoannya". 

Aku termenung tuk ke sekian kali. Opa telah berbuat banyak bagi kami. Aku dan setiap pekerja diperlakukannya begitu baik, seperti anak sendiri. Sementara kami terkadang tak acuh padanya. Padahal Opa tak berharap banyak. Sekadar perhatian kecil dan sungging senyuman membuat matanya berbinar. Namun aku kerap luput melakukannya.

Kepergian Opa menyisakan duka mendalam. Rasa sedih di hati seakan terus melekat. Entah, rasa itu begitu kuat. Hari-hari yang kujalani terasa hampa. Opa menjelma belahan jiwa. Kepulangannya meninggalkan ruang kosong. Kesedihan yang kurasa tanpa kusadari terbaca oleh Mamih. Meski jauh, ia memaklumi hal ini. Mamih mengenal Opa dengan baik. Lewat cerita-cerita di telpon, kusampaikan padanya kebaikan hati Opa. Kesendirian Opa, dan kehidupan keluarganya yg misterius. Mamih biasa tak banyak berkata. Ia hanya tersenyum kecil, atau berkata, "O, begitu ya!" Meski begitu, Mamih memiliki keperdulian yg besar pada Opa. Ia selalu bertanya kabar Opa. 

"Tak baik bersedih lama2, Nduk", kata suara di belakangku. 

Suara yg kukenal dgn sangat baik. 

"Lho, Mamih!" 

"Kapan datang dari Jogja?" 

"Tadi pagi, dianter Pakle mu". 

Kedatangan Mamih menguatkan aku. Memupus kesedihan yg selama ini kurasa. 

"Esok pagi, antar Mamih ke pusara Opa". 

"Mamih ingin menemuinya Nduk meski terlambat". Suara Mamih trcekat. Samar terlihat linangan air di matanya

 "Salam jumpa, Brian", ucap Mamih. Bersimpuh di tanah makam yang basah dengan  taburan bunga mawar  yang sebagian masih segar, Mamih khusuk mendaras Surat Yasin. Di akhir ziarahnya, Mamih memanjatkan doa untuk para ahli kubur, terkhusus Opa yang ia sapa Brian. 

"Ayo Nduk, kita pulang", ajak Mamih. 

Selembar kertas tisue tak lepas dari genggamannya. Dengan kertas penyeka itu sesekali Mamih mengusap air matanya. Tak banyak kata terucap. Mamih duduk mematung di kursi depan mobil abu yg kubawa. 

"Sudahlah Mih, tak baik larut dlm kesedihan", candaku. 

Mamih tak menjawab. Ia tak acuh padaku yangg memendam banyak tanya. Pandangan Mamih terarah pada sisi kaca jendela. Memandang takjub tiap sisi kota Bandung yang kami lewati. 

"Brian orang yang baik", bisik Mamih. 

"Ia juga orang yang sangat setia". 

Mamih memantik percakapaan dengannku. Sepertinya ia sudah menguasai dirinya. Sama seperti yang kurasa, Mamih seperti hendak menumpahkan perasaan yg selama ini ia pendam. 

"Mamih sepertinya mengenal Opa, lebih dalam dari yang Puspa kira". 

"Tentu saja Nduk, sangat dalam". 

"Ia masa lalu Mamih" kata ibu yang tengah lara itu. Ia melanjutkan kisahnya, "Semasa SMA, Mamih bersekolah di Bandung. Eyangmu menitipkan Mamih pada Pakde Salim. Mamih menumpang di rumah Pakdemu yang berjualan Mie Jogja di samping rumahnya. Tiap sore Mamih membantu Pakde dan Bude di kios itu. Jualan mereka laris manis. Pembeli berdatangan dari tempat yang dekat sampai jauh. Apalagi di malam Minggu, pembelinya lebih banyak lagi". 

"Waah seumur-umur tinggal di Bandung, blm pernah Puspa mencicipi Bakminya Bude". 

"Terang saja Nduk, wong mereka udah pada uzur, kiosnya juga udah rata dgn tanah". 

Aku tertawa kecil, merayakan keriangan Mamih yang perlahan muncul lagi. 

"Salah satu langganan kami adalah Brian Chaniago, yang kau sapa Opa itu. Brian mahasiswa Teknik Sipil di ITB, tak jauh dari jurusan yang kau ambil", Mamih  bercerita dengan riang. Sepertinya ia tak ingin aku interupsi dengan hal-hal konyol, dengan candaanku. 

"Ia tinggal ngekost, tak jauh dari kios yang Mamih layani. Karena sering bertemu, Ia jatuh hati. Sementara Mamih masih anak ingusan".

 "Mamih tahu ia tertarik dr sikapnya yg sering gugup saat bertemu. Ia juga sering titip salam pada teman Mamih yang ikut les Matematika padanya". 

"Terus, Mamih terima salamnya?" 

"Yaa, Mamih diem aja. Mamih bingung harus gimana". 

"Lama2 Mamih terbiasa juga dengan kebiasaan titip salamnya Brian. Mamih balas dengan salam lagi. Eeh, Brian tambah gigih berusaha mendekat". 

"Brian mulai mengirimi surat, lewat teman Mamih itu. Brian mengutarakan rasa sukanya. Ia mencintai Mamih. Ia berkata dlm suratnya bila memandang wajah Mamih membuatnya bahagia. Wajah Mamih selalu membayanginya ke mana pun ia pergi". 

"Waaah, Mamih ternyata primadona juga, mirip aku". 

"Huss ngawur,  kamu yg mirip Mamih".

 "Iya, maaf Mih". 

Di hadapan mobil yang kami tumpangi terbentang spanduk besar. Iklan sebuah restoran yang menyajikan menu khas Jogja. Aku mengajak Mamih untuk singgah. Memuaskan dahaga yang kurasa sedari tadi. Juga aku ingin membawa Mamih bernostalgia makan Mie Jogja. Ia kayaknya telah hapal luar kepala jenis makanan ini. Dan mengenang Brian tentunya.

 "Gimana rasanya Mih?"

 "Kalau ini sih, oyee banget!" 

Kami tertawa bersama. Kedekatan dengan Mamih seperti ini adalah kemewahan bagiku. Sebagai ibu muda yang merantau ikut suami tentu tak banyak kesempatan bersua Mamih. Kesibukan bekerja menambah peluang kecil itu semakin kecil. Bertemu Mamih paling kujalani saat mudik Lebaran. 

"Terus, gimana Mih upaya lanjutan Brian?" 

"Hmm, ia sungguh lelaki yg sangat baik". 

Mamih melanjutkan, "Sore itu Mamih hendak pulang ke Jogja. Masa SMA telah usai, Eyangmu menyuruh Mamih pulang. Brian menemui Mamih di terminal bis. Di tengah hujan deras, ia berlari dari tempat parkir motor. Ia menyongsong Mamih yang telah duduk di kursi bis. Ia terlihat gagah mengenakan jaket jkuliahnya yang warna khaki. Ia memberikan kantong berisi buah jeruk dan apel. 

"Ini buat di jalan", katanya. 

Bis bertolak dgn tergesa, menyudahi obrolan singkat kami. Mamih melaju dalam bis malam berkursi empuk. Dari jendela Mamih memandangi Brian yang melambaikan tangan. Rambut panjangnya basah diguyur air hujan. Namun ia tidak beranjak selangkah pun sampai bis jauh melaju.

Semula Mamih mengira kepulangan sore itu adalah kepulangan biasa. Seperti lazimnya kunjungan tiap usai kenaikan kelas. Namun Romo telah memilki rencana. Rencana yang ia buat  bersama ibu perihal masa depan Mamih. Mereka telah memilihkan jodoh buat Mamih. Lelaki menak Jawa yang kini jadi ayahku dan ke enam kakak. Hubungan Mamih dengan Brian serta merta terputus. Puluhan surat yang dikirim Brian terhenti di tangan kedua orang tua Mamih. Sementara Mamih tak bisa berbuat banyak. Sebagai seorang gadis Jawa, dengan penanaman adat yang ketat, Mamih hanya bisa manut. Pernikahan Mamih dan Raden Supardjo Joko Lelono pun berlangsung dengan meriah. Suasana agung dan sakral demikian terasa. Eyang meyembelih dua sapi miliknya sebagai kaul. Ungkap syukur ke hadiratNya yg telah memberi kesempatan untukk menikahkan Mamih, putri bungsunya. Sejak itu, Mamih memulai hidup yang baru. Ia berbahagia disamping sang suami. Sementara nun jauh di Kota Kembang, Bandung, seorang perjaka tengah menunggu kabar dengan setia. Dengan sabar dijalaninya hari, dengan harapan yang tak kenal padam, Brian.

Waktu berputar. Setahun, dua tahun, puluhan tahun sudah Mamih berumah tangga. Mamih tak mengingat lagi sosok Brian, lelaki yang pernah singgah di hatinya. Namun suatu hari alam semesta berpihak pada Brian. Ia dipertemukan dengan Sang Dewi yang menetap lama di hatinya. The one and only, dialah Mamih. Dalam satu perjalanan dinas, Brian bertemu Mamih di satu restoran ayam goreng. Mereka bersirobok saat sama-sama hendak menuju meja kasir. Pertemuan singkat yang punya arti besar bagi Mamih dan terutama Brian. Lelaki setia itu kini benar-benar tahu alasan mengapa surat-surat yang ia kirim tak berbalas. Sementara kesetiaan telah ia ikrarkan. Kesetiaan yang ia tujukan pada seorang wanita. Kesetiaan yang tidak menyisakan tempat bagi wanita lain. Cintanya hanya tertuju pada Mamih. Dan ia bahagia menjalani hari dengan memupuk harapan. Harapan akan cinta yang ia semai. Meski cinta itu tak utuh ia tuai. Brian hanya bisa memberi. Bukankah memberi, ungkap cinta yang sempurna? Ia memberikan hidupnya pada cinta. Pada Mamih, wujud dari cinta sejatinya. Dan padaku, Diajeng Puspa Parasayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun