Anak-anak penjual pisang goreng itu setiap hari lewat di depan rumah. Keadaan pandemi menyeret mereka untuk berdagang. Orang tua mereka sepertinya ingin memanfaatkan waktu yang lowong dari kegiatan sekolah.
Riang suara mereka sesekali terdengar. Di depan pagar langkah mereka tertahan. Mereka melihat ke arah sepeda itu teronggok. Lama mereka berdiri seperti patung. Mereka baru beranjak bila melihat penghuni rumah keluar dari pintu.
Pernah suatu hari mereka mendekati istriku yang kebetulan sedang menyiram pot bunga.
"Tante, sepedanya dibuang?" tanya si rambut tebal.
"Tidak, Nak!"
"Kenapa disimpan di sini?" tanya dia lagi. Tangannya menunjuk tong sampah yang terletak di sisi luar pagar. Antara sepeda dan tempat sampah itu hanya dibatasi pagar.
Istriku menjawab sedikit panjang. Bahwa kami
belum berniat membuangnya. Sepeda itu setelah diperbaiki masih akan dipakai Ben. Mereka pun pergi berjualan kembali. Suaranya nyaring seperti biasa.
Pada hari-hari yang lain mereka bertingkah sama. Berteriak menjajakan dagangannya, bercanda, dan berhenti sejenak di depan rumah kami. Pandangan mereka tertuju pada sepeda itu. Kami pun mulai terbiasa dengan kebiasaan baru ini.
Di suatu sore hujan gerimis turun. Aku melihat kedatangan mereka dari jauh. Yang berbadan kecil membuka kemeja kotak-kotak yang dipakainya. Lantas ia melilitkan baju itu pada kotak dagangan mereka. Rambut dan perut anak ini basah kuyup. Tetapi ia tetap melangkah dengan riang. Di depan sepeda mereka berhenti sejenak. Tatapan mereka memancarkan keinginan untuk memiliki sepeda itu.
Pada sore yang lain lagi mereka datang dengan keadaan yang berbeda. Satu diantara tiga serangkai itu berjualan sambil menggendong adik. Ia mengikuti dua rekannya yang berteriak-teriak menawarkan pisang goreng. Ia melangkah sedikit lambat dengan beban berat di punggungnya.
***