Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sepeda dan Penjual Gorengan

9 Juli 2020   15:32 Diperbarui: 9 Juli 2020   15:34 142 11
Rantai sepeda itu masih terburai di lantai. Aku belum dapat menyambungnya kembali. Seperangkat alat yang kupinjam dari tetangga tak banyak membantu. Aku terlalu asing dengan peranti perawatan sepeda.

Dua hari yang lalu rantai itu jadi mimpi buruk bagi anaku, Ben. ia pulang dengan peluh yang lebih banyak dari biasa, lantaran menuntun sepeda. Rantai itu putus saat ia mengayuh sepedanya melewati jalanan mendaki.

Aku bermaksud memperbaiki sepeda milik Ben. Kupikir menyambung mata rantai dan memasangnya kembali bukanlah pekerjaan besar. Namun perkiraanku meleset. Menyambungkan rantai tak seperti menalikan kembali simpul tali sepatu yang terlepas. Begitu mudahnya.

Tanganku belepotan saat tiga anak itu menempelkan perut mereka pada pintu pagar rumah kami. Badan mereka sepantaran anak SD kelas dua atau tiga. Memandang ketiganya, aku teringat tokoh Ikal dan kawan-kawan dalam film "Laskar Pelangi" yang tayang bertahun-tahun yang silam.

Satu dari mereka, yang berambut tebal, pandai berbicara. Ia tak henti menjajakan dagangan dalam kotak plastik yang dijinjingnya.

"Om, mau beli pisang goreng?" ia menawarkan dagangannya.

Aku menggelengkan kepala. Rantai yang malang ini menutup keinginan menyantap makanan yang kusuka itu. Ditambah tangan yang kotor menghitam lenyaplah seleraku. Ketiga anak itu pun berlalu sambil menenteng dagangannya. Suara mereka menjajakan pisang goreng terdengar nyaring.

Rantai sepeda itu masih belum dapat kusambung. Sampai terdengar adzan Zuhur, keadaannya masih belum berubah. Aku pun menyerah. Rantai itu kubiarkan terburai disamping sepeda. Keduanya terlihat merana.

***

Hari-hari berlalu. Sepeda itu masih tersender di sisi dalam pagar rumah. Keadaan pandemi yang memaksa orang mendekam di rumah membuatku menelantarkannya. Begitu pula Ben. Ia seperti terlupa memiliki sepeda.

Anak-anak penjual pisang goreng itu setiap hari lewat di depan rumah. Keadaan pandemi menyeret mereka untuk berdagang. Orang tua mereka sepertinya ingin memanfaatkan waktu yang lowong dari kegiatan sekolah.

Riang suara mereka sesekali terdengar. Di depan pagar langkah mereka tertahan. Mereka melihat ke arah sepeda itu teronggok. Lama mereka berdiri seperti patung. Mereka baru beranjak bila melihat penghuni rumah keluar dari pintu.

Pernah suatu hari mereka mendekati istriku yang kebetulan sedang menyiram pot bunga.

"Tante, sepedanya dibuang?" tanya si rambut tebal.

"Tidak, Nak!"

"Kenapa disimpan di sini?" tanya dia lagi. Tangannya menunjuk tong sampah yang terletak di sisi luar pagar. Antara sepeda dan tempat sampah itu hanya dibatasi pagar.

Istriku menjawab sedikit panjang. Bahwa kami
belum berniat membuangnya. Sepeda itu setelah diperbaiki masih akan dipakai Ben. Mereka pun pergi berjualan kembali. Suaranya nyaring seperti biasa.

Pada hari-hari yang lain mereka bertingkah sama. Berteriak menjajakan dagangannya, bercanda, dan berhenti sejenak di depan rumah kami. Pandangan mereka tertuju pada sepeda itu. Kami pun mulai terbiasa dengan kebiasaan baru ini.

Di suatu sore hujan gerimis turun. Aku melihat kedatangan mereka dari jauh. Yang berbadan kecil membuka kemeja kotak-kotak yang dipakainya. Lantas ia melilitkan baju itu pada kotak dagangan mereka. Rambut dan perut anak ini basah kuyup. Tetapi ia tetap melangkah dengan riang. Di depan sepeda mereka berhenti sejenak. Tatapan mereka memancarkan keinginan untuk memiliki sepeda itu.

Pada sore yang lain lagi mereka datang dengan keadaan yang berbeda. Satu diantara tiga serangkai itu berjualan sambil menggendong adik. Ia mengikuti dua rekannya yang berteriak-teriak menawarkan pisang goreng. Ia melangkah sedikit lambat dengan beban berat di punggungnya.

***

Hari berganti hari. Minggu bertambah menjadi hitungan bulan. Tiga bulan sudah kegiatan bekerja dan belajar dari rumah dijalani. Orang mulai merasa bosan. Keseharian berdiam di rumah pun sedikit melonggar. Ditambah keadaan pandemi yang persebarannya berkurang, langkah orang ke luar rumah tak terbendung lagi.

Aku mengayuh sepeda menyusuri jalan seputar tempat tinggal. Kubawa sepeda sedikit lebih jauh menuju kampung tetangga. Di sinilah laskar penjual gorengan itu tinggal. Lama mereka tak muncul di muka rumah kami. Aku rindu lengking suara mereka. Aku kehilangan tiga sosok mungil yang senantiasa berdiri sambil terkagum-kagum melihat sepeda kami. Sepeda butut yang tidak lagi memiliki rantai.

Pencarianku membuahkan hasil. Tak sulit mencari mereka. Sebagai anak-anak yang setiap hari berkeliling, sosok mereka banyak dikenal. Orang sekampung telah akrab pada mereka. Warga kampung sebagian besar pernah membeli pisang  dan tahu goreng mereka.

"Nak, datanglah ke rumah Om" kataku.

"Sepeda itu kami hadiahkan pada kalian"

Aku pun pulang. Mengayuh sepedaku dengan lebih bertenaga. Rona bahagia yang memancar dari wajah mereka menjadi lantaran kayuhan kaki ini terasa ringan.













KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun