"Kalau ada peraturan seperti PUPN yang memungkinkan perampasan tanpa pengadilan, itu bertentangan dengan prinsip due process dan harus dinyatakan batal demi hukum," tegasnya.
Diamnya Negara, Tanda Tanya Besar
Salah satu bagian paling mengejutkan dari pernyataan Maruarar adalah sorotan terhadap ketidakpedulian negara atas temuan audit BPK yang seharusnya menjadi dasar evaluasi kasus.
"Bukti sudah ada. Audit BPK adalah dokumen otentik, sudah jadi alat bukti di pengadilan. Tapi tidak satu pun lembaga negara bertindak. Semua pura-pura tidak tahu. Ini yang membuat saya geram," ujarnya seraya berharap Presiden Prabowo yang berjanji akan mengejar koruptor hingga ke Antartika, membuktikan janjinya.Â
"Lha ini, korupsinya di depan mata. Tapi siapa yang menindak? Nggak ada," katanya getir.
Sistem Rusak, Warga Jadi Korban
Kasus Andri Tedjadharma menggambarkan bagaimana celah dalam sistem hukum dan ketidakseriusan penegak hukum menanggapi bukti bisa menghancurkan hidup seseorang. Penyitaan rumah, harta, dan reputasi dilakukan tanpa pernah ada bukti utang yang sah. Bukti otentik BPK di pengadilan yang diajukan pemerintah sendiri, sudah jelas menunjukkan bahwa Bank Centris tidak menerima dana, tapi tetap saja penagihan dan penyitaan berlanjut.Â
"Ini bukan hanya soal Andri. Ini soal sistem yang membiarkan orang tidak bersalah dihukum. Dan itu harus dihentikan," tutup Maruarar.
Pertaruhan KonstitusiÂ
Ketika peraturan yang usang dan penyalahgunaan wewenang menabrak konstitusi, suara ahli hukum seperti Maruarar dan Nindyo menjadi pengingat bahwa negara tak boleh sewenang-wenang. Bahwa di atas segala aturan teknis, konstitusi adalah fondasi tertinggi, dan tanpa proses hukum yang sah, tidak boleh ada penyitaan, apalagi penghukuman.
Kasus Bank Centris Internasional dan Andri bukan sekadar soal siapa yang berutang, tetapi ujian apakah Indonesia masih menjunjung rule of law, atau sudah terperosok ke jurang negara kekuasaan.Â