Siapa yang bisa percaya bahwa harta seseorang akan disita secara adil, jika hakim-hakim yang memutus perkara pun bisa disuap?
Bukan Hanya Koruptor yang Bisa Dimiskinkan
Semangat "memiskinkan koruptor" telah berkembang menjadi semangat "menghukum semua yang ada di sekitarnya". Banyak yang mendukung penyitaan terhadap harta istri, anak, bahkan keluarga jauh dari tersangka korupsi --- meski belum ada putusan hukum.
Untungnya, Presiden Prabowo Subianto masih berpikir penuh pertimbangan. Ia  pernah mengingatkan:
"Saya sedih kalau saya lihat ada kawan saya ditangkap, saya bertanya, bagaimana istrinya? Bagaimana anaknya di sekolah? Bapakmu koruptor ya?" (HUT Golkar, 2024)
Presiden Prabowo setuju untuk koruptor mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi dengan menyita hartanya. Tapi, penuh pertimbangan, ia katakan, apakah adil anak dan istrinya menderita?Â
Sementara Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, mengkritik keras semangat penyitaan tanpa pembuktian hukum:
"Negara boleh mengambil aset hasil korupsi, tapi harus dengan pembuktian hukum. Menguatkan penegakan hukum yang ada jauh lebih penting daripada buru-buru sahkan RUU ini." (KompasTV, 2023)
RUU Perampasan Aset justru berpotensi menciptakan kekacauan baru dalam dunia hukum. Jika disahkan tanpa kehati-hatian, ia akan mengizinkan negara menyita harta siapa saja yang dianggap terlibat, bukan yang terbukti bersalah.Â
RUU ini bukan hanya masalah teknis hukum. Ini soal semangat: Apakah kita ingin negara yang menegakkan keadilan, atau negara yang menumpahkan amarah?
Karena kalau semangatnya amarah seperti yang sekarang masif memenuhi ruang publik, maka hukum hanya jadi alat, bukan panglima. Padahal dalam negara hukum, hukum harus tetap di depan. Bukan kekuasaan yang menentukan keadilan, tapi keadilan yang membatasi kekuasaan.Â