Kok bisa?Â
Menelusurinya jejak hakim yang memutus perkara itu, saya melihat keberpihakannya pada Satgas BLBI . Karena, dua kasus perkara yang sudah menang di PTUN dan PT. TUN, akhirnya dikalahkan dia di MA. Seperti juga dialami Andri Tedjadharma. Menang di PTUN dan PT. TUN, akhirnya di NO--kan.Â
Padahal, gugatan Andri di PTUN ini sulit untuk tidak diterimanya. Pasalnya, Andri tidak ingin ada dua keputusan lembaga peradilan untuk satu perkara yang sama. Di mana, saat itu perkara perdatanya sedang proses di lembaga peradilan Mahkamah Agung.Â
Darurat Penegak HukumÂ
Jika ingin memberantas korupsi, solusinya bukan membuat RUU baru yang bisa disalahgunakan. Yang kita butuhkan adalah penegakan hukum yang konsisten dan adil.
Dan untuk itu, peran hakim menjadi kunci. Semua penyitaan, semua putusan, seharusnya ditentukan melalui proses persidangan yang adil dan transparan. Hakimlah penentu terakhir dalam menyeimbangkan semangat pemberantasan korupsi dengan prinsip perlindungan hak warga negara. Namun, realitasnya masih jauh dari harapan.
Bukan rahasia lagi, praktik korupsi di lembaga peradilan luar biasa. Dari pengadilan tingkat bawah, hingga Mahkamah Agung, terlalu banyak catatan kelam:
* Hakim Agung Sudrajad Dimyati divonis karena menerima suap miliaran rupiah dalam perkara kasasi di MA (2023).
* Gazalba Saleh, hakim agung lainnya, ditetapkan tersangka oleh KPK karena dugaan suap terkait putusan perkara.
* Di tingkat Pengadilan Negeri, Ketua PN Surabaya Itong Isnaeni dan panitera ditangkap karena jual beli putusan.
Itu hanya sebagian dari banyak nama. Kita sedang berhadapan dengan sistem yang sakit --- bukan karena kurang aturan, tapi karena aturan yang ada dijual oleh mereka yang seharusnya menjaganya.