Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain [5]

7 Desember 2022   14:26 Diperbarui: 7 Desember 2022   14:48 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Para peziarah itu kemudian menghilang, mendadak seperti kedatangan mereka," tambahnya. "Kami merasa khawatir dengan ganjilnya kunjungan mereka. Kami tidak dapat memahaminya. Kemudian orang Nazaret itu membawa istri dan anaknya, malam itu juga, sembunyi-sembunyi, ke Mesir. Sejak kepergian mereka, desa ini seperti terkena kutuk; sesuatu yang jahat meliputi kami. Mereka bilang prajurit-prajurit Romawi datang dari Yerusalem untuk memaksakan pajak baru kepada kami. Banyak orang desa membawa ternak-ternak mereka ke belakang bukit-bukit yang jauh di sana, untuk bersembunyi."

Artaban mendengarkan perkataan ibu muda itu baik-baik, sementara anak kecil di tangannya, menatap wajahnya yang letih, mengulurkan tangan mungilnya yang montok dan merah muda, seolah-olah merenggut lingkaran emas yang bersayap di dada bajunya. Tingkah bayi itu menghangatkan hati Artaban yang letih. Sentuhan itu seperti sapaan sayang dan rasa percaya kepada seorang peziarah yang berjalan jauh sendirian dan sering kebingungan, berjuang atas keraguan dan ketakutannya sendiri, mengikuti terang yang diselubungi awan gemawan.

"Mungkinkah anak itu Raja yang dijanjikan?" batin Artaban, ketika bayi itu menyentuh pipinya dengan lembut. "Raja-raja lahir di sini, di rumah-rumah yang lebih sederhana dari pondok ini, dan bintang dapat muncul dari rumah kecil itu. Tetapi tampaknya tidak baik untuk memberi hadiah dengan cepat dan mudah. Ia yang kucari sudah pergi; dan sekarang aku harus mengikut Raja itu ke Mesir."

Ibu muda itu meletakkan bayinya ke dalam ayunan, lalu bangkit untuk menyediakan makanan sederhana ala petani kepada Artaban, namun dengan rasa rela. Makanan itu sungguh menyegarkan tubuh dan jiwa tamunya. Artaban pun menerima semua yang disajikan dengan penuh syukur. Ketika dia sedang makan, bayi di ayunan tertidur dengan wajah bahagia, bergumam lembut dalam mimpi dan suara bayinya. Kedamaian meliputi pondok sederhana itu.

Namun tiba-tiba terdengar keributan dan kegaduhan di jalanan desa, pekik dan ratap para perempuan, gemerincing suara terompet dan denting pedang yang menciptakan suasana horor, dan jerit yang terdengar putus asa, "Tentara! Tentara Herodes! Mereka membunuhi anak-anak kita."

Wajah ibu muda itu berubah pucat ketakutan. Dia mendekap anaknya dekat ke dadanya, meringkuk tegang di sudut gelap rumah, menutupi bayinya dengan baju lebar, menjaganya agar ia tidak terjaga atau menangis.

Artaban sendiri dengan cepat menyelinap ke luar pondok, berdiri di depan pintu. Bahunya yang lebar memenuhi seluruh pintu , ujung penutup kepalanya menyentuh kusen.

Dalam sekejab tentara memenuhi jalan dengan tangan dan pedang yang meneteskan darah. Penampilan tak biasa asing dan pakaian Artaban membuat mereka sedikit ragu. Kapten gerombolan itu berjalan mendekati ambang pintu, dengan maksud menyingkirkan Artaban agar ia dapat memeriksa rumah. Tetapi Artaban tidak bergerak. Wajahnya tenang seperti ia sedang memandang bintang-bintang. 

Nyala di matanya bersinar teguh bahkan akan membuat seekor leopard bersembunyi dalam ragu, dan darah memburu yang liar itu menghentikan langkahnya. Ia menahan tentara itu dengan tenang, lalu dengan suara rendah ia berkata, "Aku sendiri di tempat ini, dan aku sedang menunggu untuk memberikan permata ini kepada kapten yang bijaksana, yang akan meninggalkan tempat ini dalam damai."

Artaban memperlihatkan batu delima di telapak tangannya, kilaunya yang rupawan nampak seperti tetesan darah seorang yang luhur mulia.

Kapten itu terkesima menatap gemerlap batu permata yang menakjubkan itu. Bola matanya membesar seperti juga hasrat di dalam dirinya. Garis-garis serakah mengerutkan sekeliling bibirnya. Dia segera mengulurkan tangannya, mengambil batu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun