Di Tepi Sungai BabiloniaÂ
SEPANJANG malam Vasda, kuda Artaban yang paling tangkas, telah bersiap di kandang dengan sadel dan kekang terpasang di pundaknya, menunggu sambil mengais-ngais kakinya di tanah seperti tak sabar, menggoyang-goyangkan tubuhnya seolah-olah tertular semangat tuannya, meski dia tidak tahu apa maknanya.
Sebelum burung-burung berkicau dengan lengking suaranya, ramai riang menyanyi pagi itu, sebelum kabut putih yang malas menghilang dari pemandangan, orang majus satu ini sudah menaiki sadelnya, menunggang kudanya melesat di jalanan menanjak, menyusuri kaki Gunung Orontes, ke jurusan barat.
Betapa dekat dan intim relasi manusia dan kuda kesayangannya itu dalam perjalanan panjang ini. Sebuah kedekatan yang tenang, saling percaya, tanpa perlu penjelasan kata-kata.
Mereka meneguk air di mata air yang sama, tidur di bawah sekawanan bintang di langit. Mereka bersama mengatasi serangan malam dan terjaga dengan cepat sebelum fajar. Sang tuan berbagi makan malam dengan makhluk lapar itu, merasakan lembutnya bibir-bibir lembap sahabatnya menyentuh telapak tangannya saat memakan remah-remah roti. Menjelang fajar ia terjaga di tendanya dengan deru napas  hangat yang dekat ke wajahnya yang masih lelap, menatap teman seperjalanannya yang setia memandangnya, siap dan menunggu pekerjaan hari itu. Kepada Allah yang dia sebut nama-Nya, dia mengucapkan rasa syukur dengan khusyuk, dan ia memanjatkan doa paginya untuk mereka berdua mendapat berkat --berkatilah kami ya Allah, jagalah agar kaki kami tak tersandung dan jauhkan jiwa kami dari kematian!
Kemudian, melalui udara pagi yang menyengat, laju hentak kaki yang  berirama penuh semangat di sepanjang perjalanan, menjaga denyut jantung keduanya bergerak dengan gairah yang sama---menaklukkan ruang, mengalahkan jarak, mencapai tujuan perjalanan.
Artaban mengendalikan kudanya dengan baik dan bijaksana jika dia ingin mencapai tujuan bertemu teman-temannya pada waktu yang tepat. Rute yang harus ditempuhnya adalah seratus lima puluh parasang (parasang adalah ukuran jarak yang memungkinkan dicapai menurut ukuran Iran purba. Jarak diukur sesuai dengan karakter daerah dan kecepatan perjalanan. Di Eropa ukuran ini ekivalen dengan unit). Dalam kasus Artaban, lima belas adalah jarak paling cepat yang dapat dijalani dalam satu hari. Namun karena dia kenal betul kekuatan Vasda, dia mempercepat perjalanan tanpa menciptakan tekanan, mempertahankan jarak sama setiap hari, meski harus berjalan sampai larut malam dan berangkat sebelum fajar tiba.
Mereka melintasi lereng Gunung Orontes yang kecokelatan, berkerenyut oleh bidang-bidang berbatu dari derasnya seratus aliran air.
Ia memintasi tanah-tanah datar Nisasan, di mana sekawanan kuda sedang memamah rumput di hamparan padang yang luas, mendekatkan kepala mereka ke arah Vasda, dan menderapkan kudanya menjauh dengan suara guruh ratusan tapak kuda, yang membuat sekumpulan burung liar terbang serentak dari padang rumput yang berawa, berputar-putar dengan sayap-sayap bersinar yang tak terhitung jumlahnya dan berseru nyaring akibat keterkejutan.
Dia menyeberangi padang-padang Concabar, di mana debu lantai-lantai pengirik memenuhi udara dengan halimun keemasan, yang setengahnya mengaburkan kuil Astarte yang sangat besar dengan empat ratus pilar itu.
Di Baghistan, di antara taman-taman yang dialiri air yang memancar dari batu karang, ia menatap ke arah gunung, memaksa dengan seluruh kekuatannya agar dapat menyelusuri jalanan, melihat figur Raja Darius yang menginjak-injak para musuh, dan dengan arogan menunjukkan perang dan pampasan perangnya, yang terukir di atas wajah batu karang yang abadi.