Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain [4]

7 Desember 2022   07:41 Diperbarui: 7 Desember 2022   07:43 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ia menempuh jalan-jalan yang dingin dan suram, setengah mati merangkak melintasi punggung-punggung bukit yang berangin; menuruni ngarai gunung yang gelap curam, di mana arus sungai bergemuruh dan mengalir deras di depan matanya seperti pemandu yang ganas; melangkahi lembah yang tersenyum, dengan teras-teras batu kapur yang kekuningan yang dipadati pohon buah-buahan; menembus belukar pohon oak di Carine dan gerbang-gerbang Zagros yang seram, mengelilingi tebing curam; menuju kota purba Chala, di mana orang Samaria sudah  memeliharanya pada waktu yang lalu; keluar ke dekat portal megah, merepih melalui pebukitan yang melingkupiya, di mana ia melihat gambar Pendeta Agung orang majus yang ditatah di dinding karang, dengan tangan terangkat ke atas seolah-olah memberkati abad-abad para peziarah; melewati jalan kecil jurang yang sempit, yang dari ujung ke ujung dipenuhi kebun buah persik dan buah ara, meniti buih sungai Gyndes yang bersentuhan dengannya; meninggalkan ladang-ladang padi yang luas, di mana uap air musim gugur menyebarkan kabut yang mematikan; membayangi sisi-sisi sungai, di bawah bayang-bayang semacam pohon dan tumbuhan asam yang padat, di antara bukit-bukit rendah; di luar dataran yang rata, di mana jalan tampak lurus serupa anak panah yang melewati tunggul ladang yang terbakar karena panas dan padang rumput yang kering; melewati kota Ctesiphon, di mana kaisar-kaisar bangsa Parthia memerintah, dan kota metropolis Seleucia yang sangat luas yang dibangun oleh Alexander; melewati luapan sungai Tigris yang berputar dan banyak kanal sungai Efrat, yang kuning mengalir melewati ladang-ladang jagung---Artaban terus membujuk Vasda agar dia tiba pada malam kesepuluh, di bawah dinding-dinding kota Babilonia yang berserakan dan padat penduduk.

Vasda hampir kehabisan tenaga, Artaban bisa saja dengan senang hati kembali ke kota untuk mencari tempat istirahat dan menyegarkan dirinya dan kudanya. Namun tempat itu hanya tinggal tiga jam perjalanan untuk tiba di Kuil Tujuh Kubah, dan dia harus mencapainya pada malam hari dia dia tidak ingin ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Jadi dia tidak berhenti, terus duduk di punggung Vasda, melewati ladang-ladang tunggul kering.

Hutan kecil kurma membuat suram lautan kuning ladang yang memucat. Ketika melewati bayangan, Vasda memperlambat langkahnya, seperti berhati-hati.

Mendekati kegelapan di ujung sana, seperti satu peringatan menyerang. Dia mencium bahaya; sesuatu yang bukan dari dirinya, berkata untuk berlari dari bahaya itu---dan dia hanya bisa bersiaga, mendekati dengan bijak, sebagaimana yang harus dilakukannya. Hutan kecil itu kian dekat dan sunyi seperti kuburan; tak terdengar selembar daun pun berdesau, tak seekor burung pun menyanyi.

Kuda itu merasakan langkah-langkah kaki di depannya, sambil menundukkan kepalanya, mengikik mengeluh dengan kecemasan. Akhirnya napasnya memburu, terdengar lemah dan letih, ia berdiri namun tubuhnya tak bergerak, kemudian seluruh ototnya bergetar lembut, di hadapannya tampak satu bayang gelap pepohonan palem yang paling ujung.

Artaban turun dari kuda. Sinar bintang yang suram menunjukkan adanya sebentuk tubuh manusia yang terbaring melintang di atas jalan. Pakaiannya bersahaja dan sketsa kepayahan nampak di wajahnya yang penat, menunjukkan ia seorang pelarian Ibrani miskin yang masih tinggal di wilayah itu. Kulitnya pucat, kering dan kuning seperti kertas kulit, menandakan serangan demam yang mematikan, seperti memorakporandakan rawa musim gugur. Kematian tampak dari tangannya yang terkulai, dan ketika Artaban melepaskannya, lengan itu tak bergerak di atas dadanya yang seperti tak berdetak. 

Dia memalingkan wajahnya dalam rasa iba, menopang tubuh itu ke dekat pemakaman dan bersikap sebagai pendeta Majus berperilaku yang paling pantas---pemakaman gurun pasir, di mana layang-layang dan sayap-sayap burung hering akan muncul dari kegelapan, di mana binatang-binatang liar memangsa dengan sembunyi-sembunyi, hanya meninggalkan seonggok tulang-belulang putih di atas pasir.

Namun saat dia berbalik, terdengar rintihan kesakitan dari bibir laki-laki malang itu. Tulang-tulang jemari yang kecokelatan mengejang di ujung jubahnya, berpegangan erat.

Jantung Artaban seakan melompat dari tenggorokan, bukan karena takut, tetapi kepahitan tiba-tiba atas kesadaran akan kemungkinan ia menunda perjalanannya.

Bagaimana mungkin dia tinggal di sana dalam gelap demi menolong seorang asing yang sedang sekarat? Apakah tuntutan kemanusiaan yang tak bernama ini atas nama belas kasihan atau pelayanan? Jika dia di sana selama satu jam, mungkin pada waktu yang sama dia tiba di Borsippa. Teman-temannya mungkin akan berpikir dia sudah menyerah dan mereka akan melanjutkan perjalanan tanpanya. Lalu dia akan kehilangan misinya.

Kalau dia berangkat sekarang, orang itu pasti kehilangan nyawanya. Jika dia bertahan, mungkin hidupnya masih dapat diselamatkan. Semangat Artaban berdentam dan gugup secara bersamaan menghadapi krisis yang mendesak ini. Haruskah dia mengambil risiko iman demi satu tindakan kemanusiaan? Haruskah dia mengesampingkan, sekejap saja, dari mengikut bintang terang itu, demi memberi secangkir air dingin bagi seorang yang malang ini, seorang Ibrani yang hampir mati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun