Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Naftali [3]

4 Oktober 2022   23:00 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:02 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu aku berhitung. Tahun 1988 Thiru mulai bekerja di Miri. Kalau ia lulus master pada usia 23 atau 24, berarti tahun ini ia berusia 42 atau 43 tahun. Aku dua puluh tujuh. Kami selisih lima belas tahun. Apakah dia tahu usiaku sebenarnya? Akankah kami serasi jadi pasangan? Tapi, memangnya kami akan pacaran? 

"Kenapa tidak menghabiskan makananmu?" tegurnya. 

Aku melipat sisa gourmet baik-baik dan menaruhnya di nampan. Thiru melihat bungkusan itu dengan sorot mata tak genah. Aku segera paham maksud tatapan itu. Dia punya alasan untuk tiap hal. Makan karena lapar. Terbang ke Indonesia untuk bertemu denganku. 

Naik AirAsia karena murah. Sedangkan aku, apa? Aku belum pernah berpikir alasan makan. Kadang-kadang karena ingin mengulang rasa. Makan untuk makan makanan. Bagaimana rasa lapar sebenarnya? Atau kenyang atau haus? Apakah segala sesuatu dalam hidup perlu dipikirkan alasannya? Apa alasan manusia hidup? Aku tak berani memikirkannya atau tak tahu bagaimana menerima hidup dengan semestinya.

"Kamu mau ini?" tanyanya. Ujung jemarinya kuncup di depan wajahku memegang sesuwir daging ayam, berlumur sambal merah. Aku mundur sejenak. Tangan itu masih menungguku. Ragu-ragu aku mencondongkan tubuhku di atas meja, membuka mulut, lalu dua jari Thiru mendesakkan makanan itu ke mulutku. Jantungku lemas. 

Satu perasaan ganjil menyergapku. Sangat pribadi. Aku seperti mendapat pelukan hangat dari Dada atau Nana selesai menjalankan hukuman karena aku nakal.   


Mulutnya terus mengunyah sopan. Aku mengikuti mengunyah dengan betul, tetapi menelannya tergesa karena kuncup jemari itu sudah berada lagi di pintu mulutku. Kali ini nasi merah. Dadaku sesak. Dan tangan hitam kaku itu? Oh Tuhan.

"Saya kenyang," jawabku, menghindar.

"Apa maksudmu kamu kenyang? Ya, seharusnya kamu tidak pesan makanan," tegasnya dengan nada mengomel. 

Jawaban Thiru persis Nana yang memuji tiap kali piring bersih sehabis makan atau mengomel kalau banyak sisa. Di rumah kita bisa mengukur perut dan tahu masakan Nana. Di restoran, siapa yang tahu tragedi dalam satu hidangan?  

"Dengar saya, Young Lady. Lain kali kalau kamu pesan makanan kamu harus tahu kamu bisa menghabiskannya. Saya tak suka dan tak biasa membuang makanan. Sudah saya katakan, saya bukan orang kaya. Waktu kecil orangtua kami berjuang tiap hari untuk mendapat makanan yang layak di meja makan. Dan kami selalu menghargai makanan apa pun yang kami punya. Sesedikit apa pun. Tak pernah mengeluh. Kamu mengerti itu, kan? Kita pergi sekarang," katanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun