Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bawang Prei di Kebun Lea

20 September 2022   22:29 Diperbarui: 20 September 2022   22:53 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MUSIM panas di dataran Padan-Aram kali ini terasa menggigit. Matahari seperti turun lebih dekat ke bumi, tekun memanggang. Dedaunan pohon anggur dengan tabah merambat, berwarna hijau muda dan tua. Gerombolan buahnya oval sempurna, gemuk-berair, pucat, berkerumunan penuh rindu. Ranum. Tanah yang rupawan.   

Seorang perempuan muda menatap kosong semua keindahan itu dengan mulut terkatup. Matanya redup. Sesiang ini perutnya yang buncit belum diisi apapun. Tetapi ia tak lapar. Biasanya ia bersemangat memandangi tanah yang tak pernah berkhianat, memberi makanan berlimpah kepada keluarga besarnya selama ini, turun-temurun. 

Kemurungan sedang menutup rasa gembiranya. Ia bahkan tak bisa menamai apa perasaannya saat itu. Ia mengusap-usap perutnya tanpa sadar. Nalurinya mengatakan, kali ini pun laki-laki. Harus berapa anak laki-laki kulahirkan untuk mendapat cintanya, gumamnya, menarik napas panjang. Memikirkan itu ia merasa berat.      

Lalu matanya bergerak malas ke sebidang tanah di mana bawang prei tumbuh. Sekelompok makhluk hidup itu, tiap kali ia memandangnya, perutnya merasa bahagia. Umbi bawang dengan dedaunan panjang itu penghuni tetap dapurnya. Kehadiran putih-hijaunya membuat sup kambing lebih memikat. Tumis sayuran tak menggigit tanpa aromanya. Daging ikan sungai terasa manis bila dikukus dengan balutannya. Ia tak berhenti heran memikirkan apa yang dibayangkan Tuhan Allah ketika mencipta tumbuhan menawan ini. Apakah Dia sedang jatuh cinta di dapur-Nya sendiri?  

Tatapannya berhenti pada setangkai bawang prei di barisan depan. Tumbuhan itu berdiri canggung. Dibanding sekawanan kawan-kawannya yang gemuk, menjulang, gemulai digerakkan sepoi angin siang, ia kecil dan kurus. Malu-malu ia tumbuh, seperti tak mau menonjolkan diri. Karena menyedihkan mata memandang, ia mendekat untuk melihat apa yang terjadi. 

Si bawang prei berdiri miring. Kenapa kamu, ujarnya bersuara sambil tak sabar telunjuknya mengorek-ngorek tanah di sekeliling tanaman. Di sana ia menemukan asal masalah. Satu batu besar dan kecil tertanam di dalam tanah, mendesak badan ringkih si kurus dari dua sisi, hampir tanpa ruang.  Melihat posisi genting itu, akal sehatnya  mengatakan bawang prei ini mustahil tumbuh. Tunas seharusnya sangat kesulitan mendesak celah antara dua batu. Akar pastinya setengah mati mengantar makanan. 

Tak sabar tangannya menyungkil kedua batu, menyingkirkan mereka dari sana, menggemburkan tanah di sekitar akar, memberinya oksigen. Lalu ia menumpukkan tanah ke sekelilingnya, seolah ingin memberi kekuatan baru kepada si tertawan. Kemudian lama  matanya memandang si kurus, dengan iba dan penuh sayang, lantas dalam dua detik, kedua matanya terasa nyeri akibat urat-urat menegang, memanas cepat, menyerang dadanya hingga ia sesak mendadak. Sekumpulan saraf telah memicu sumber air mata untuk bergerak, berproduksi.  

Dan sebelum ia menyadari apa yang terjadi, air matanya turun dengan deras, deras, lancar bak arus sungai di belakang kemahnya. Tubuhnya menggigil bersama ingatan yang berlari cepat ke masa lalu, ke masa yang tiap kali mengenangnya, akan terasa pahit. Meski ia sudah berdamai dengan masa itu, namun jemarinya tetap gemetar. Ia mengusap kulit bawang lembut dari bawah ke atas kemudian ke bawah lagi, sementara ia mulai meraung dengan suara keras.  

"Oh Tuhan Allah, hatiku sedih. Dia tak pernah mencintaiku. Apa pun usaha yang kulakukan, berapa pun anak yang kulahirkan, aku tak akan mendapat cintanya....," isaknya, mengadu kepada Yang Maha Penguasa.  

Bawang prei cacat itu adalah dirinya. Yang tidak dicintai, yang berjuang sendirian, yang kesesakan dalam cadas. Ia merasa Tuhan Allah telah berbelas kasihan kepadanya, begitu nyata, seperti ia mengasihani si bawang prei kurus, sekarang ini.  

"Lihatlah aku, bawang prei. Aku adalah dirimu. Teruslah tumbuh. Jangan takut! Tataplah terik matahari dengan berani. Hadapi angin dengan tegap. Tak satu pun bisa menyakitimu, kecuali kau izinkan. Kau mengerti maksudku? Kau telah berhasil menembus batu-batu keras yang menghalangimu. Seperti aku. Kita sudah melewatinya banyak kesulitan tapi pejuangan belum selesai ...," katanya menyemangati, kedua tangannya mendekap si bawang prei kecil, mengabaikan perutnya yang sakit karena tertekan berat tubuh sendiri.

Rahel, adiknya, adalah segalanya. Orang rumah, tetangga, seluruh kampung mencintai wajah cantik itu. Ke mana pun kakinya melangkah, mata orang-orang akan mengawasi sinar yang mengerjab-ngerjab dari sepasang matanya yang bulat, bulu mata lentik, dan alis hitam lebat yang melengkung sempurna. Tawanya merdu. Ayah Ibu memujanya. Kesalahan apapun yang dilakukan, selalu ada maaf untuk Rahel.  

Kadang-kadang ia harus mengakui bahwa rasa rendah dan perasaan tak layak, terus memburunya. Ia sering mengasihani diri. Beberapa kali ia menangis sendirian di padang, tanpa sebab, menyesali rasa cemburu yang datang tak diundang. Tetapi ia tak pernah membenci Rahel. Sangat mudah mencintai Rahel, adik kesayangannya itu. Dia selalu bersikap manis kepadanya, dan kepada semua orang.   

Dan untuk mengalihkan pikiran jahatnya berkembang dan melupakan ketidakberuntungan fisiknya, ia membiarkan kedua tangannya sibuk, membantu ayahnya di ladang atau mencari buah-buah kesukaan ibunya di hutan.    

"Pergilah bersenang-senang dengan teman-teman perempuanmu!" usir ayahnya kalau ia terlalu sibuk di ladang. 

"Aku akan membantu Ibu di dapur kalau Ayah tak mau aku di sini," jawabnya kesal.

Dan di hari yang terik itu, Rahel berseru dengan riang bahwa ia akan mengambil air di sumur. 

Kalau saja aku yang ke sumur siang itu, dan yang pertama ditemui Yakub, apakah laki-laki itu akan jatuh cinta kepadaku seperti ia jatuh cinta kepada Rahel pada pandangan pertama?, tanyanya sendiri, berkali-kali berspekulasi. Tidak, tidak mungkin. Aku tak perlu menyesali peristiwa sumur itu. Ia bersyukur karena bisa bersikap tegas ke pikiran yang amat sering menggodanya, seperti singa mengaum-aum, menunggu saat lemah untuk menelan.

Ternyata Yakub adalah sepupu mereka. Bibi Sarah, ibunya Yakub, adalah kakak perempuan ayahnya. Ia dua bersaudara, abangnya adalah Esau. Ia mengaku dengan jujur bahwa telah kabur dari rumah karena mencuri hak kesulungan dari abangnya, menipu ayahnya untuk mendapat berkat sulung. Lelaki yang menawan itu seorang penipu. Tetapi dari caranya berbicara, sungguh hatinya telah tertambat.     

Malam itu ibunya menghidangkan makanan lezat untuk menghormati tamu mereka. Yakub dan rombongannya. Laban, ayahnya, tertawa lebar, berseru dengan gembira bahwa seorang pariban1 telah datang. Ia kesal dengan pernyataan ayahnya, karena itu berarti ia harus menikahi Esau, si pemburu.   

Padahal, pertama melihat Yakub, sepupunya itu, ada yang berdesir di hatinya. Ia sudah bertemu banyak laki-laki muda tetapi baru kali ini ia merasa seperti ribuan kupu-kupu terbang di perutnya. Apakah ini jatuh cinta? Betul-betul gila. Tetapi malam matanya sendiri menyaksikan, Yakub telah menautkan cinta kepada Rahel. Sepasang mata yang jatuh cinta tak pernah bohong.    

Jangan bodoh, jangan bodoh, ia bahkan tak memperhatikanmu, katanya sambil memukul-mukulkan kepalan tangan ke kepalanya. Kecantikan adalah sia-sia tetapi istri yang bijaksana dipuji-puji. Perempuan yang tangannya cakap bekerja takkan pernah kekurangan berkat di rumahnya, begitu pesan ibunya saat menasihati dia dan adiknya, tentang bagaimana menjadi seorang ibu dan istri yang berkenan kepada Tuhan Allah.    

Sesungguhnya Yakub adalah matahari. Seperti anak dewa,  tangannya bagai sihir yang menarik perhatian kambing-domba, kepadanya. Apa yang disentuhnya, berhasil. 

Dan ia tak bisa menyangkal cinta yang tumbuh makin kuat tiap hari. Kadang-kadang ia merasa tak bisa menahan diri, ingin berlari ke arah Yakub, memeluknya kuat, dan berteriak, bahwa ia mencintainya. Ia ingin Yakub tahu perasaannya. Sekeras perasaan itu tumbuh, sekeras itu pula ia menguras tenaganya habis sepanjang hari, sehingga cepat terlelap di peraduan, mengalihkan kesedihannya. Ia tak mau berjodoh dengan Esau. Tidur, adalah satu-satunya waktu matanya tak melihat Yakub.    

Kenyataannya, Yakub nyaris tak pernah melihatnya. Boro-boro memperhatikan. Ia terlalu sibuk dengan Rahel.       

"Kau sakitkah, anakku?" tanya ayahnya ketika mendapatinya melamun, berbaring di antara rumput hijau yang padat di balik bukit.

"Tidak, Ayah. Aku hanya sakit bulanan," jawabnya sambil cepat-cepat bangkit, berlari meninggalkan ayahnya, khawatir matanya yang berair terlihat. 

Tetapi ia merasa ayahnya tahu perasaannya kepada Yakub.  

Lalu peristiwa Yakub melamar Rahel. Mendengar itu ia merasa seperti belati ditikamkan berkali-kali, persis ke ulu hatinya. 

Ayahnya menyetujui pernikahan itu dengan syarat. Yakub harus bekerja selama tujuh tahun di ladang mereka. Hm, ayahnya tahu tangan Yakub yang membuat keluarga mereka bertambah kaya akibat cepatnya para betina melahirkan bayi-bayi sehat di kandang mereka. 

Dan, seminggu sebelum hari perjamuan itu tiba, ayahnya membisikkan sebuah rencana. 

"Tidak, Ayah. Yakub akan membenciku selamanya!" pekiknya.

"Lea anakku sayang, percayalah kepada ayahmu ini. Kau mencintai Yakub, jangan sangkal perasaanmu itu, Nak. Pada malam pengantin adikmu nanti, kaulah yang akan masuk ke kemah Yakub. Ayah pastikan itu terjadi. Lagipula itu tradisi kita juga. Seorang adik tak boleh menikah sebelum kakaknya, kau tahu itu, bukan? Ini kesempatanmu, anakku. Berikanlah cintamu seluruhnya kepada Yakub pada malam pengantin itu. Cinta akan tumbuh sebelum kau menyadarinya," kata ayahnya.

Dan hari itu pun tibalah. Tetangga dan orang sekampung turut gembira menikmati perjamuan yang diselenggarakan ayahnya untuk Yakub dan Rahel. Tetapi pada saat yang sama ia sangat menderita memikirkan perasaan Rahel kepadanya, nanti. 

Malam turun dengan cepat. Para tamu pulang. Yakub sudah menunggu di kemahnya. Ia membatu ketika ibunya mengenakan cadar untuk menutupi wajahnya, dan tubuhnya kaku ketika ayahnya mendorongnya ke kemah Yakub. 

"Rebutlah hatinya, Nak. Jadilah pengantinnya!" bisik ayahnya, tersenyum. 

Lalu ia masuk ke kemah remang itu. Lampu minyak di sudut sana, menyala dengan enggan. Tak menunggu laki-laki muda yang tengah mabuk kepayang itu menyentuhnya, menjadikannya perempuan di puncak bahagia. Sinar rembulan tersipu meyaksikan penyatuan dua anak manusia yang bercinta penuh gelora, dengan pikiran masing-masing. Yakub dengan fantasinya. Ia dengan impiannya. 

Pagi merayap datang. Matanya menangkap sinar kecewa, yang sangat, terpancar dari kedua bola mata Yakub. Tetapi laki-laki itu telah diajari sopan-santun oleh ibunya. Ia mencium kening pengantinnya, lembut, mengucapkan selamat pagi, kemudian turun dari peraduan. 

Ia tahu Yakub murka kepada ayahnya, karena dibohongi. Tetapi ayahnya bersembunyi di balik tradisi, bahwa seorang adik pamali2 menjadi pengantin sebelum kakak perempuan. Ayahnya mengusulkan Yakub bekerja tujuh tahun lagi untuk mendapat Rahel.    

Rahel adalah cinta mati Yakub. Tetapi Tuhan Allah tak pernah melupakannya. Ia memberinya keadilan, membuat rahimnya subur, melahirkan Ruben, lalu Yakub, lalu Simeon. Dan sekarang ia hamil, anak keempat.       

Ternyata cinta tak tumbuh dengan sendirinya, Ayah, keluhnya kepada ayahnya. 

"Kau harus menemukan kebahagiaanmu sendiri, Anakku," nasihat ayahnya. 

Ayah benar. Akulah yang akan menentukan aku bahagia atau tidak. Bukan Yakub atau siapa pun, bisiknya. Tiba-tiba ia merasa perutnya bergerak, kemudian ia mengaduh karena janin di perutnya memberinya tendangan bebas. Oh, kau setuju dengan pendapat Ibu, anakku, batinnya, mengusap-usap perutnya, dan tersenyum.   

"Lea! Di sini kau rupanya? Apa kau ini? Anak-anak menunggumu makan siang."

Ia terkejut, menoleh ke asal suara. Zilpa. Asisten rumah tangga dan sahabatnya, yang diberikan ayahnya di hari perkawinannya dulu. 

"Jangan kesal, Zilpa. Tolong aku bangkit."

"Kau pikir bayi di dalam perutmu itu bisa cari makan sendiri?" omel Zilpa lagi.

"Kau tak tahu peristiwa yang baru kualami, Zilpa. Kali ini aku akan melahirkan bahagia, bersyukur kepada Tuhan Allah, Yakub mencintaiku atau tidak."

"Bagus! Lagipula aku bosan mendengar keluhanmu soal Yakub," jawab Zilpa cepat.

Ia tersenyum, melangkah dengan hati ringan. Mendekati kemah mereka, ia disambut teriakan dua jagoannya, Ruben dan Simeon. Lewi kecil mengembangkan kedua tangannya yang gemuk menggemaskan. 

"Ibu tak bisa lagi menggendongmu, Sayang. Lihat perut besar Ibu," katanya sambil menunduk, mencium pipi Lewi yang kemerahan seperti tomat. 

"Cepat, makan, Ibu!" teriak Ruben. 

"Oo, lihat siapa yang lapar, Bibi Zilpa? Nah, siapa mengucapkan doa makan kali ini?" tanyanya tenang.

Simeon mengangkat tangan, lalu mulutnya yang kecil dengan cepat mengucapkan doa pendek. Selesai, dan ketiga laki-laki kecil itu meneruskan keributan. 

Zilpa mencuil lengannya, memberi isyarat dengan dagunya. Ia mengikuti arah dagu itu, memandang ke luar kemah. Di ujung sana, sepasang mata cantik tengah mengamati keceriaan mereka, kemudian menghilang, masuk ke kemahnya yang indah, namun sepi. 

*

Cempaka Putih, September 2014 

Keterangan:

  1. Pariban, bahasa Batak, sapaan kekerabatan yang dekat.

  2. Pamali, bahasa Sunda, artinya pantangan, larangan.  

Catatan:

  1. Cerita diilhami teks Alkitab Edisi Studi, LAI 2012, hal 72-75.

  2. Alkitab menulis Lea tidak berseri matanya (Kejadian 29:17), dalam Kitab Torah disebutkan bahwa penyebabnya adalah karena ia terlalu sering menangis. Ia memohon sungguh-sungguh kepada Allah agar mengizinkan ia menikahi Yakub, sebelum Rahel. Lihat en.wikipedia.org/wiki/Leah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun