Dan hari itu pun tibalah. Tetangga dan orang sekampung turut gembira menikmati perjamuan yang diselenggarakan ayahnya untuk Yakub dan Rahel. Tetapi pada saat yang sama ia sangat menderita memikirkan perasaan Rahel kepadanya, nanti.Â
Malam turun dengan cepat. Para tamu pulang. Yakub sudah menunggu di kemahnya. Ia membatu ketika ibunya mengenakan cadar untuk menutupi wajahnya, dan tubuhnya kaku ketika ayahnya mendorongnya ke kemah Yakub.Â
"Rebutlah hatinya, Nak. Jadilah pengantinnya!" bisik ayahnya, tersenyum.Â
Lalu ia masuk ke kemah remang itu. Lampu minyak di sudut sana, menyala dengan enggan. Tak menunggu laki-laki muda yang tengah mabuk kepayang itu menyentuhnya, menjadikannya perempuan di puncak bahagia. Sinar rembulan tersipu meyaksikan penyatuan dua anak manusia yang bercinta penuh gelora, dengan pikiran masing-masing. Yakub dengan fantasinya. Ia dengan impiannya.Â
Pagi merayap datang. Matanya menangkap sinar kecewa, yang sangat, terpancar dari kedua bola mata Yakub. Tetapi laki-laki itu telah diajari sopan-santun oleh ibunya. Ia mencium kening pengantinnya, lembut, mengucapkan selamat pagi, kemudian turun dari peraduan.Â
Ia tahu Yakub murka kepada ayahnya, karena dibohongi. Tetapi ayahnya bersembunyi di balik tradisi, bahwa seorang adik pamali2 menjadi pengantin sebelum kakak perempuan. Ayahnya mengusulkan Yakub bekerja tujuh tahun lagi untuk mendapat Rahel. Â Â
Rahel adalah cinta mati Yakub. Tetapi Tuhan Allah tak pernah melupakannya. Ia memberinya keadilan, membuat rahimnya subur, melahirkan Ruben, lalu Yakub, lalu Simeon. Dan sekarang ia hamil, anak keempat. Â Â Â Â
Ternyata cinta tak tumbuh dengan sendirinya, Ayah, keluhnya kepada ayahnya.Â
"Kau harus menemukan kebahagiaanmu sendiri, Anakku," nasihat ayahnya.Â
Ayah benar. Akulah yang akan menentukan aku bahagia atau tidak. Bukan Yakub atau siapa pun, bisiknya. Tiba-tiba ia merasa perutnya bergerak, kemudian ia mengaduh karena janin di perutnya memberinya tendangan bebas. Oh, kau setuju dengan pendapat Ibu, anakku, batinnya, mengusap-usap perutnya, dan tersenyum. Â Â
"Lea! Di sini kau rupanya? Apa kau ini? Anak-anak menunggumu makan siang."