Tapi cuma sekali, setelah surat dibalas, dan bersahabat pena, biasanya sudah tidak ada perangko balasan lagi, hihihi...
Begitulah, saat SMP dulu saat dapat cuan dari menulis, uangnya cuma habis untuk uang jajan dan uang perangko saja. Dapat cuan, tapi malah tekor. Tapi yang namanya hobi, tekorpun tetap dijalani, karena di situ ada hobi dan passion yang butuh biaya.
Tapi, bagaimana dengan hobi dan passion yang Bercuan? Wow .. siapa yang nggak mau. Keuntungan berlipat saat menyalurkan hobi, cuanpun dapat.
Mungkin terdengar ideal sekali, ya. Meski begitu, untuk melakukan hal seperti itu juga tidak mudah, kecuali tahu caranya dan gigih melakukannya.
Walah! Spil caranya dunk, biar kita-kita juga bisa mendapatkan cuan dari hobi dan passion.
Lain lagi saat Aku sudah menikah dan butuh tambahan penghasilan sambil mengasuh 2 buah hati yang lucu-lucu dan tidak bisa ditinggalkan.
Saat itulah aku berdamai dengan keadaan. Passion semula kuliah di jurusan pertanian dan menjadi sarjana pertanian untuk bekerja di perkebunan di luar Jawa terpaksa disimpan dan menggali passion, potensi dan hobi lain untuk disalurkan sekaligus bisa mendapatkan uang tambahan tanpa meninggalkan keluarga.
Aku menemukan, bahwa hobi menulis adalah hobi yang bisa digali untuk menghasilkan cuan, dengan mengirimkan cerpen-cerpen karyaku ke majalah remaja. Kenapa majalah remaja, bukan majalah keluarga yang bisa menjadi ajang menulis sekaligus tempat curhat emak-emak?
Entahlah. Aku sendiri tak tahu, kenapa justru cerpen remaja yang kupilih sebagai genre ku. Mungkin karena kenangan masa remaja adalah kenangan manis dan menyenangkan dibanding cerita keluarga yang penuh penderitaan? Eh... tidak juga ya. Hehehe...
Sebenarnya, saat itu karena di depan rumah kontrakanku adalah gang yang menjadi jalan anak-anak bersekolah di sebuah SMP. Saat berangkat atau pulang sekolah, banyak anak abege berlalu lalang sambil bercanda dengan celotehan - celotehan yang lucu dan khas remaja. Itu yang biasanya merangsang ide dan kenangan kelucuan masa remaja yang kembali hadir dalam memori.
Luar biasanya lagi, sekali mengirim cerpen, langsung dimuat di Majalah Remaja Kawanku. Di samping mendapat kiriman majalah sebagai tanda bukti pemuatan, juga mendapat honor via wesel pos.Â
Beruntung saat itu rumah kontrakanku berada di seberang kantor pos, selisih satu rumah. Jadi dekat dan mudah saja mengambilnya. Malah setelah kenal Pak Posnya, honor langsung diantar ke rumah. Atau kalau aku ambil sendiri ke kantor pos, aku tak perlu menunjukkan kartu identitas.
"Tak perlu KTP Pak?"
"Walah, aku kan sudah hapal panjenengan, tanpa kartu identitaspun aku sudah tahu kalau tidak salah orang!" Jawab Pak Pos.
"Hahaha..!" Aku hanya tertawa dan berterima kasih.
Aku ingat, honor pertamaku saat itu 200 ribu. Yang seratus ribu Aku kirimkan pada Ibu. Yang diterima Ibu dengan terharu dan dibalas dengan kebanggaan yang membuatku bangga juga, sehingga tak pernah aku lupakan. Rasanya senang sekali saat Ibu bangga. Meski bagi Ibu sebagai guru PNS di sebuah SMP, nominal 100 ribu sangat kecil, tapi kebanggaan dan apresiasi ibu atas keberhasilan pemuatan cerpenku adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan apapun, kecuali cinta Ibu kepada putrinya, dan cinta dalam keluarga yang penuh kehangatan dan kasih sayang.Â