Pendahuluan
Kemajuan teknologi informasi dalam dua dekade terakhir membawa banyak perubahan positif, namun juga menghadirkan tantangan baru berupa kejahatan di dunia maya. Kasus pencurian data pribadi, peretasan sistem, hingga penipuan online semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar. Kondisi inilah yang membuat digital forensik menjadi sangat penting. Bidang ini berfungsi untuk menemukan, mengelola, dan menganalisis bukti digital agar bisa dipakai dalam proses hukum.
Di Indonesia, dasar hukum mengenai bukti elektronik sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari UU ITE. Undang-undang tersebut mengakui bahwa dokumen elektronik bisa dijadikan bukti sah di pengadilan. Walaupun begitu, istilah "digital forensik" belum dituliskan secara jelas di dalamnya. Oleh karena itu, praktiknya masih banyak merujuk pada standar internasional seperti ISO/IEC 27037 dan model kerja dari lembaga luar negeri, salah satunya NIST (National Institute of Standards and Technology).
Pengantar Digital Forensik: Definisi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan Regulasi
Secara sederhana, digital forensik bisa diartikan sebagai serangkaian langkah sistematis untuk menemukan dan mengolah bukti digital supaya bisa dipakai dalam investigasi hukum. Tujuan utamanya ada tiga: menjaga keaslian bukti (authenticity), mempertahankan integritasnya (integrity), dan memastikan bukti tersebut bisa diterima (admissibility) di pengadilan.
Cakupan digital forensik sangat luas, mulai dari komputer, ponsel pintar, server, hingga media sosial. Di Indonesia, keberadaan UU No. 1 Tahun 2024 memperkuat posisi bukti digital di mata hukum. Namun, untuk aspek teknis, banyak praktisi tetap mengandalkan standar internasional, salah satunya ISO/IEC 27037:2012. Standar ini memberikan pedoman tentang bagaimana bukti digital harus diidentifikasi, dikumpulkan, dan dijaga agar tetap sah digunakan dalam proses hukum (Carrier,2003).
Etika dan Aspek Legal dalam Digital Forensik
Selain teknis, digital forensik juga harus memperhatikan etika dan aturan hukum. Investigator forensik dituntut bekerja secara objektif, tidak memihak, serta tetap menjaga kerahasiaan data. Jika etika ini dilanggar, bisa saja bukti yang sudah dikumpulkan menjadi tidak dipercaya, bahkan bisa ditolak di pengadilan.
Dari sisi hukum, ada satu prinsip penting yang wajib dipatuhi, yaitu chain of custody atau rantai penguasaan barang bukti. Prinsip ini memastikan setiap langkah sejak bukti ditemukan hingga dipakai di pengadilan terdokumentasi dengan jelas. Dengan begitu, keaslian bukti tetap terjaga dan tidak menimbulkan keraguan. Praktik ini sejalan dengan aturan di banyak negara, dan di Indonesia pun dikuatkan oleh UU No. 1 Tahun 2024 yang mengakui sahnya bukti elektronik (Chevalier,2006).
Metodologi Digital Forensik: Model NIST
Salah satu kerangka kerja yang paling sering digunakan dalam digital forensik adalah Model NIST. Model ini dianggap cukup lengkap karena membagi proses investigasi menjadi empat tahap yang jelas, yaitu: