Mohon tunggu...
Isna Syahidah
Isna Syahidah Mohon Tunggu... Sebagai Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Indraprasta PGRI

Blog ini adalah catatan terselubung dari pemikiran dan analisis saya. Sebuah jejak keintelektualan yang aktual, reflektif, dan menginspirasi. Sebagai portofolio, ia bukan hanya dokumentasi wacana, tapi juga cermin dari keberpihakan sejarah yang saya yakini: bahwa perempuan pun menjadi penentu arah bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka Tak Menunggu Zaman Berubah tetapi Mereka yang Mengubah Zaman

12 Juni 2025   21:25 Diperbarui: 12 Juni 2025   19:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Hj. Rasuna Said sumber Bangkit  https://images.app.goo.gl/Zp7mCzLLqfPqraYw9

Rasuna tak hanya gemilang di bidang akademik, tapi juga membara di dunia politik. Pada usia 16 tahun, ia sudah menjadi sekretaris Sarekat Rakyat cabang Maninjau. Beberapa tahun kemudian, ia mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan menjadi pengajar sekaligus juru pidato ulung. Kepiawaiannya berorasi membuat Belanda ketar-ketir. Tak heran, ia dijuluki “Singa Minangkabau” oleh Rosihan Anwar.

Namun keberanian itu juga membuatnya dijerat hukum “speek delict” aturan kolonial yang menghukum siapapun yang mengkritik pemerintah. Rasuna menjadi perempuan Indonesia pertama yang dipenjara karena berani menyuarakan perlawanan lewat pidato.

Di balik jeruji, semangatnya tak padam. Usai bebas, ia kembali ke dunia pendidikan dan jurnalistik. Ia mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan, menulis di Majalah Raya, dan mengedit Menara Putri, media yang menyuarakan hak-hak perempuan dalam Islam dan nasionalisme.

Salah satu momen monumental adalah pidatonya di hadapan 500 wanita, menentang RUU Perkawinan Hindia Belanda pada 1937. Ia membela hukum Islam dan menyerukan bahwa persoalan poligami dan perceraian adalah masalah sosial, bukan semata hukum.

Hingga akhir hayatnya, Rasuna tetap teguh menyuarakan keadilan, pendidikan, dan kesetaraan. Pada 13 Desember 1974, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional perempuan kesembilan yang meraih kehormatan itu.

Kartini, Cut Nyak Dhien, dan Hj. Rasuna Said adalah tiga wajah perjuangan perempuan Indonesia yang melampaui zaman mereka. Mereka tidak menunggu perubahan, mereka menciptakan perubahan. Di tengah perdebatan yang terus berlangsung tentang kesetaraan gender, kisah mereka menjadi inspirasi abadi tentang keberanian, keteguhan, dan cinta terhadap bangsa. Tugas kita sebagai generasi penerus bukan hanya mengenang mereka, tetapi menghidupkan kembali semangatnya melalui pendidikan, suara, dan aksi nyata.

Referensi

Horton, Rosalind dan Simmons, Sally. (2009). Wanita-wanita Yang Mengubah Dunia (Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Esensi.

https://www.deappel.nl/en/archive/files/11666

Kartini, R.A. (2017). Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Khakim, M.N.L., Furzaen, A.R., Suwarno, E.I. (2020). Aceh women’s contribution of military affairs during western colonialism in Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun