Di era digital yang serba cepat ini, sejarah kadang terasa seperti folder lama yang jarang dibuka. Padahal, sejarah bukan hanya tentang masa lalu yang usang, ia adalah kompas identitas, fondasi berpikir kritis, dan pijakan dalam membaca arah bangsa. Memahami sejarah berarti menolak lupa. Ia bukan sekadar deretan tanggal dan nama tokoh, tapi narasi yang membentuk siapa kita hari ini dan menentukan ke mana kita melangkah esok.
Namun, narasi sejarah sering kali timpang. Disusun oleh yang berkuasa, dicetak oleh perspektif dominan, dan kadang menyingkirkan suara-suara lain terutama perempuan. Padahal, perempuan bukan figuran dalam drama kemerdekaan. Mereka adalah pemeran utama yang tak selalu tertulis dalam buku pelajaran, tapi jejaknya abadi dalam perjuangan.
Tulisan ini hendak menyoroti tiga perempuan yang melampaui zamannya. Mereka tak menunggu zaman berubah mereka yang mengubahnya. Raden Ajeng Kartini atau sering disebut Kartini yang menyalakan api pendidikan di tengah gelapnya feodalisme patriarki, Cut Nyak Dhien yang memimpin perang dengan keberanian melebihi bala tentara Belanda, dan Hj. Rasuna Said yang bersuara lantang di panggung politik dalam mengkritik penjajahan.
Dalam dunia yang masih terus memperdebatkan kesetaraan dan peran perempuan, kisah-kisah mereka bukan hanya catatan sejarah tetapi bahan bakar perubahan. Maka sebagai generasi muda yang lahir dari hasil perjuangan mereka, sudah saatnya kita tak sekadar mengenang, tapi menghidupkan kembali semangatnya. Bukan lewat senjata, tapi lewat pena, suara, dan aksi nyata.
1.Kartini
Kartini bukan sekadar ikon berkebaya dengan kutipan manis di buku pelajaran. Ia adalah pemikir progresif di zamannya. Beliau lahir di Jepara, Jawa Tengah 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa tengah 17 September 1904. Seorang perempuan Jawa ningrat yang memiliki kesadaran kritis atas struktur sosial yang menindas kaumnya pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang patriarkis dan di tengah sistem kolonial yang mengekang, Kartini tampil sebagai suara yang membongkar kemapanan: bahwa perempuan berhak untuk berpikir, bermimpi, dan belajar.
Pendidikan, bagi Kartini, bukan sekadar alat untuk mengejar gelar, melainkan kunci kemerdekaan. Ia menyadari bahwa selama perempuan dijauhkan dari ilmu pengetahuan, maka selama itu pula mereka akan tetap diposisikan sebagai warga kelas dua dibungkam secara sistemik. Kartini menolak tunduk pada takdir itu. Ia menulis surat-surat yang kini menjadi artefak intelektual penting, menyuarakan kegelisahan dan ide-idenya tentang kesetaraan, kebebasan berpikir, serta pentingnya mendidik perempuan demi menciptakan bangsa yang bermartabat.
Namun perjuangannya tidak tanpa pengorbanan. Ia pernah mendapat kesempatan untuk belajar ke Belanda melalui beasiswa, namun memilih tetap di tanah Jawa dan menikah atas restu keluarganya. Pilihan ini bukan bentuk kekalahan, melainkan strategi. Dengan dukungan suaminya, Kartini justru mendirikan sekolah perempuan pertama dan membuktikan bahwa perjuangan bisa dilakukan dari dalam sistem, bukan hanya dari luar.
Paradoks inilah yang menjadikan Kartini relevan hingga kini: ia berani bermimpi besar, namun juga cukup bijak untuk berjuang dalam batas realitas. Ia tidak melawan laki-laki, tetapi memperjuangkan agar perempuan bisa berdiri sejajar. Bukan untuk menyaingi, melainkan untuk turut membangun peradaban.
Kartini wafat di usia muda, namun warisannya abadi. Bukan karena ia semata menulis, tapi karena ia memilih untuk tinggal dan berjuang di tanahnya sendiri. Pengorbanan itu yang membuat masa depan berpihak pada cita-citanya, dan membuat kita generasi hari ini masih bisa merasakan cahaya dari pelita yang ia nyalakan, jauh sebelum kita lahir.
2.Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien merupakan salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Lahir dari keluarga bangsawan di Aceh Besar, ia menunjukkan bahwa status sosial tidak menjadi penghalang untuk terjun langsung ke medan perang, apalagi ketika perjuangan menyangkut harga diri bangsa.
Motivasi perlawanan Dhien berakar pada pengalaman pribadi kehilangan suaminya Teuku Ibrahim Lamnga dalam pertempuran melawan Belanda. Semangat juang ini semakin menguat ketika ia menikah dengan Teuku Umar, seorang tokoh perlawanan Aceh lainnya. Bersama, keduanya membangun strategi perlawanan yang tidak hanya bersifat militer, tetapi juga taktis, seperti tipuan penyerahan diri kepada Belanda demi mendapatkan persenjataan dan logistik.
Perjuangan Dhien tidak berhenti meskipun Teuku Umar gugur. Ia terus memimpin pasukan meski dalam keadaan fisik yang semakin melemah. Keteguhannya menunjukkan bahwa peran perempuan dalam perjuangan tidak terbatas pada dukungan moral atau logistik, tetapi dapat pula mengambil peran sebagai komando gerilya.
Penangkapannya pada tahun 1901 dan pengasingannya ke Sumedang tidak menghapus jasa-jasanya dalam sejarah nasional. Justru, tindakan Belanda mengasingkannya mencerminkan kekhawatiran terhadap pengaruh besar yang ia miliki di kalangan rakyat Aceh. Pengakuan terhadap perjuangannya ditandai dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1964.
Dengan demikian, Cut Nyak Dhien merupakan simbol resistensi perempuan terhadap kolonialisme serta bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari kontribusi aktif tokoh-tokoh perempuan yang tangguh, berani, dan visioner.
3.Hj. Rusana Said.
14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Sumatera Barat, lahirlah seorang perempuan luar biasa yang kelak dikenal sebagai pejuang kemerdekaan sekaligus ikon emansipasi: Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Lahir dari keluarga terpandang, Rasuna sejak dini sudah menempuh pendidikan yang tak biasa untuk perempuan saat itu. Meski sempat mengenyam pendidikan Belanda, ia justru memilih sekolah agama dan menjadi satu-satunya santri perempuan di Pesantren Ar-Rasyidiyah. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan ke Diniyah Putri di Padang Panjang sekolah modern khusus putri yang didirikan Rahmah El Yunusiah.
Rasuna tak hanya gemilang di bidang akademik, tapi juga membara di dunia politik. Pada usia 16 tahun, ia sudah menjadi sekretaris Sarekat Rakyat cabang Maninjau. Beberapa tahun kemudian, ia mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan menjadi pengajar sekaligus juru pidato ulung. Kepiawaiannya berorasi membuat Belanda ketar-ketir. Tak heran, ia dijuluki “Singa Minangkabau” oleh Rosihan Anwar.
Namun keberanian itu juga membuatnya dijerat hukum “speek delict” aturan kolonial yang menghukum siapapun yang mengkritik pemerintah. Rasuna menjadi perempuan Indonesia pertama yang dipenjara karena berani menyuarakan perlawanan lewat pidato.
Di balik jeruji, semangatnya tak padam. Usai bebas, ia kembali ke dunia pendidikan dan jurnalistik. Ia mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan, menulis di Majalah Raya, dan mengedit Menara Putri, media yang menyuarakan hak-hak perempuan dalam Islam dan nasionalisme.
Salah satu momen monumental adalah pidatonya di hadapan 500 wanita, menentang RUU Perkawinan Hindia Belanda pada 1937. Ia membela hukum Islam dan menyerukan bahwa persoalan poligami dan perceraian adalah masalah sosial, bukan semata hukum.
Hingga akhir hayatnya, Rasuna tetap teguh menyuarakan keadilan, pendidikan, dan kesetaraan. Pada 13 Desember 1974, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional perempuan kesembilan yang meraih kehormatan itu.
Kartini, Cut Nyak Dhien, dan Hj. Rasuna Said adalah tiga wajah perjuangan perempuan Indonesia yang melampaui zaman mereka. Mereka tidak menunggu perubahan, mereka menciptakan perubahan. Di tengah perdebatan yang terus berlangsung tentang kesetaraan gender, kisah mereka menjadi inspirasi abadi tentang keberanian, keteguhan, dan cinta terhadap bangsa. Tugas kita sebagai generasi penerus bukan hanya mengenang mereka, tetapi menghidupkan kembali semangatnya melalui pendidikan, suara, dan aksi nyata.
Referensi
Horton, Rosalind dan Simmons, Sally. (2009). Wanita-wanita Yang Mengubah Dunia (Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Esensi.
https://www.deappel.nl/en/archive/files/11666
Kartini, R.A. (2017). Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Khakim, M.N.L., Furzaen, A.R., Suwarno, E.I. (2020). Aceh women’s contribution of military affairs during western colonialism in Indonesia.
Stuers, Cora Vreede. (2017). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu.
Van’t Veer, Paul. 1985, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafitipers
Widi, Astuti. 2013. Perempuan Pejuang Jejak Perjuangan Perempuan Islam Nusantara dari Masa ke Masa. Bandung: Konstanta Publishing House.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI