Wisuda Bukan Sekadar Seremonial, Tapi Pengakuan
Perdebatan antara Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan seorang siswa SMA tentang larangan wisuda bukan cuma soal boleh-tidaknya pesta kelulusan. Ini adalah benturan perspektif antara birokrasi yang kaku dan generasi muda yang haus pengakuan.
Saat Dedi bersikukuh bahwa wisuda "hanya membebani orang tua", ia lupa bahwa bagi pelajar, momen itu adalah simbol perjuangan bertahun-tahun, bukan sekadar acara makan-makan atau foto-foto. Di usia mereka, pengalaman seperti wisuda adalah pengakuan sosial pertama bahwa kerja keras mereka berarti.
Masalah Sebenarnya Bukan Biaya, Tapi Pola Pikir
Pemerintah provinsi berargumen bahwa larangan ini menghemat anggaran. Tapi pertanyaannya:
Seberapa besar sebenarnya penghematannya? Apakah dibandingkan dengan anggaran lain (misalnya proyek fisik), pengeluaran untuk wisuda benar-benar signifikan?
Kenapa solusinya pelarangan total, bukan regulasi agar wisuda lebih terjangkau? Misalnya, dengan standar acara sederhana yang tetap memungkinkan siswa merayakannya.
Yang terjadi justru pemiskinan makna pendidikan. Sekolah menjadi sekadar transfer pengetahuan, tanpa ruang untuk membangun memori kolektif dan rasa pencapaian.
Gestur Dedi Mulyadi: Cermin Krisis Komunikasi Publik
Faktor yang memperkeruh situasi adalah cara Dedi merespons kritik. Alih-alih berdialog, ia terlihat: