LATAR BELAKANG
Pada suatu petang yang tampak biasa, suara tawa terdengar dari sudut-sudut ruang kelas. Jadwal kuliah terisi, tugas diserahkan, percakapan di grup WhatsApp mengalir tanpa jeda. Di permukaan, kehidupan tampak berjalan seperti seharusnya. Namun saat malam menyelimuti, ketika layar gawai akhirnya direbahkan dan lampu kamar diredupkan, ada kekosongan yang tak bisa diredam. Ia tidak keras, tidak histeris—namun menyusup halus, menusuk perlahan. Dalam sunyi, satu kalimat berbisik dalam hati: "Apakah aku satu-satunya yang merasa lelah hidup seperti ini?"
Itulah suara lirih yang hari ini digaungkan banyak anak muda, bukan di forum-forum resmi, bukan pula dalam diskusi kampus, tetapi di linimasa media sosial. Mereka menulisnya dalam deskripsi video TikTok, dalam unggahan anonim di Twitter/X, dalam lirik-lirik buatan sendiri yang tersebar dalam bentuk konten yang tak pernah berhenti diputar. Kalimat-kalimat seperti “aku ingin tidur lebih lama,” “lelah jadi kuat,” atau “ingin menghilang saja” bukan lagi keluhan individu. Ia telah menjadi bahasa kolektif generasi.
Di tengah perkembangan teknologi dan keterhubungan digital yang nyaris tanpa batas, paradoks besar muncul: semakin luas jaringan, semakin dalam kesunyian. Anak muda hari ini tumbuh dalam dunia yang menjunjung produktivitas, memuja performa, dan mengaburkan batas antara ruang personal dan publik. Mereka dituntut untuk terus bergerak, untuk selalu “berhasil,” bahkan dalam hal-hal yang paling personal sekalipun. Namun tekanan semacam itu tidak datang tanpa biaya batin.
Laporan World Mental Health Report dari WHO (2022) menyebutkan bahwa lebih dari 13 persen remaja dunia mengalami gangguan kesehatan mental, terutama depresi dan kecemasan. Di Indonesia, 6,1 persen penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional menurut data Riskesdas 2018. Bahkan, survei Katadata Insight Center dan Jakpat (2022) menemukan bahwa lebih dari 51 persen Gen Z Indonesia merasa stres dan cemas terhadap masa depan, dengan tekanan sosial sebagai penyebab utama.
Fakta ini tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi bebas, justru menjadi ruang komparasi yang tidak sehat. Di sana, pencapaian orang lain menjadi hantu yang terus menghantui. Di sana pula, ketidaksempurnaan diri terasa makin jelas. Maka, dalam diam, muncul bentuk perlawanan yang tidak frontal: lelucon tentang depresi, meme tentang burnout, dan unggahan murung dengan caption ambigu. Di sinilah gejala sosial mulai tampak.
Namun yang lebih memprihatinkan, sistem pendidikan formal yang seharusnya menjadi penopang dan ruang aman justru seringkali menjadi salah satu sumber tekanan itu sendiri. Alih-alih menjadi tempat pembinaan karakter dan pemulihan mental, pendidikan hari ini terlalu sibuk mengejar angka, akreditasi, dan output. Kesehatan mental, bila pun dibahas, sering kali hanya menjadi topik seminar musiman—belum menjadi bagian dari kebijakan struktural.
Di titik inilah sosiologi memainkan perannya. Fenomena kelelahan psikis ini tidak bisa dimaknai sekadar sebagai urusan kejiwaan individu. Ia adalah produk dari ketegangan antara struktur sosial dan agensi personal. Dalam esai ini, penulis akan menggunakan perspektif sosiologis untuk membedah fenomena tersebut. Dengan pendekatan teori anomie Émile Durkheim, alienasi Karl Marx, serta konsep dramaturgi Erving Goffman, kita akan melihat bahwa kelelahan ini bukan kelemahan, melainkan bentuk resistensi yang muncul dari tekanan sistemik yang terlalu lama diabaikan.
ANALISIS SOSIOLOGI
Ada hal yang aneh tapi nyata dalam kehidupan anak muda hari ini: mereka tidak sedang berteriak, tapi kita tahu mereka lelah. Kita tidak melihat darah, tapi kita tahu ada yang luka. Bahasa luka itu muncul samar, dalam bentuk unggahan bernada datar, dalam video dengan caption seperti “capek jadi kuat” atau “aku cuma pengin tidur lama.” Di permukaan, ini mungkin terlihat sepele—sekadar tren konten melankolis—tapi jika dilihat lebih dalam, ini adalah gejala sosial yang pantas untuk dicemaskan.
1. Durkheim dan Anomi