Mohon tunggu...
INTAN DWI RAHMAWATI
INTAN DWI RAHMAWATI Mohon Tunggu... Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswi Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Begitu Banyak Anak Muda Ingin Menghilang?

27 Juni 2025   22:55 Diperbarui: 27 Juni 2025   22:55 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Émile Durkheim menyebut keadaan seperti ini sebagai anomie—situasi di mana norma-norma yang seharusnya memberi arah hidup justru menjadi kabur. Di tengah gempuran informasi, perubahan zaman, dan ekspektasi sosial yang tidak masuk akal, banyak pemuda kehilangan pegangan. Hidup seperti kapal kecil yang hanyut di laut tenang, tapi tak tahu arah. Mereka mungkin tidak sedang kelaparan, tapi mereka kekurangan makna. Kita bisa menyebut ini sebagai generasi yang “baik-baik saja secara kasat mata”—rapi, produktif, aktif organisasi—tapi rapuh secara eksistensial. Karena ketika standar kesuksesan berubah menjadi angka-angka, ranking, likes, dan CV, yang hilang bukan hanya waktu, tapi juga hubungan dengan diri sendiri.

2. Karl Marx dan Alienasi

Di titik inilah gagasan alienasi dari Karl Marx menjadi relevan. Ia pernah berkata bahwa manusia bisa terasing bukan hanya dari pekerjaannya, tapi dari dirinya sendiri. Dan itulah yang kini dialami banyak anak muda: mereka bisa sibuk seharian, tapi tidak merasa hidup. Mereka bisa tampil percaya diri di depan umum, tapi menangis dalam diam di malam hari. Mereka seperti mesin yang diharapkan terus berjalan, tanpa sempat bertanya: “apakah aku bahagia?”

3. Erving Goffman dan Dramaturgi

Media sosial—yang katanya ruang ekspresi—sering justru memperparah keadaan. Di sana, semua orang terlihat berhasil. Di sana, kesedihan pun bisa dikurasi agar tetap enak dilihat. Ini membawa kita pada pemikiran Erving Goffman tentang dramaturgi: bahwa kehidupan sosial adalah panggung, dan kita semua adalah aktor yang memainkan peran. Masalahnya, panggung hari ini tidak pernah gelap. Lampu sorot menyala terus-menerus, dan kita dituntut tampil baik tanpa henti. Lama-lama, kita lupa siapa diri kita ketika tirai ditutup.

Salah satu hal yang paling menyedihkan dari semua ini adalah: banyak pemuda tidak tahu bahwa perasaan lelah mereka bukan salah mereka. Mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak cukup kuat, padahal sistemlah yang membuat mereka terus berlari tanpa istirahat. Mereka tidak tahu bahwa lelucon tentang depresi yang mereka bagikan itu sebenarnya bukan sekadar jokes—itu semacam doa yang tidak tahu harus dikirim ke mana. Dan ini bukan hanya tentang individu, ini tentang masyarakat. Ketika banyak anak muda merasa hampa, kita tidak bisa hanya menyuruh mereka “bersyukur” atau “lebih dekat pada Tuhan.” Kita perlu menata ulang sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan yang selama ini terlalu keras pada mereka.

REFLEKSI KEPENDIDIKAN ATAS MASALAH YANG TERJADI

Jika ada satu institusi yang paling dekat dengan kehidupan anak muda selain keluarga, maka itu adalah sekolah dan kampus. Namun sayangnya, justru institusi ini sering kali gagal menjadi ruang yang aman dan memanusiakan. Pendidikan di Indonesia, secara struktural dan kultural, masih sibuk mengejar angka dan citra, alih-alih menciptakan ruang hidup yang sehat dan bermakna bagi peserta didiknya.

Dalam banyak kasus, sekolah dan perguruan tinggi menjadi tempat produksi kecemasan massal. Target akademik yang tidak realistis, kurikulum yang kaku, minimnya pendekatan afektif dari guru dan dosen, serta budaya kompetisi yang membabi buta membuat siswa dan mahasiswa hidup dalam tekanan berlapis. Mereka tidak sedang didorong untuk berpikir, tapi dipaksa untuk bertahan. Ini bukan pendidikan yang membebaskan, ini sistem yang membentuk kepatuhan tanpa makna.

Kesehatan mental masih dianggap urusan pribadi, bukan tanggung jawab institusi. Padahal, sistem pendidikan ikut menciptakan atmosfer yang membuat banyak anak muda merasa gagal hanya karena tidak sesuai dengan standar ideal akademik. Ketika seorang mahasiswa merasa depresi karena tidak bisa memenuhi tuntutan tugas, nilai, atau ekspektasi sosial, respons institusi sering kali normatif: “Coba lebih disiplin,” “manajemen waktu,” atau bahkan, “itu hanya kurang ibadah.” Masalah struktural justru disimplifikasi menjadi kelemahan individu.

Sementara itu, pendekatan kurikulum masih belum berubah banyak: berorientasi pada konten, padat teori, tapi miskin ruang dialog. Tidak ada waktu untuk refleksi diri, tidak ada ruang untuk gagal tanpa hukuman. Padahal, manusia berkembang bukan hanya lewat keberhasilan, tetapi justru melalui kegagalan yang dimaknai. Dalam sistem yang terlalu menekankan performa, tidak ada tempat bagi keraguan, kecemasan, atau kebingungan eksistensial. Semua harus disembunyikan agar tidak dianggap lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun