Mohon tunggu...
ROHADAH
ROHADAH Mohon Tunggu... Blogger atau citizen journalist
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pemerhati kebijakan publik, penulis lepas dengan ketertarikan pada isu-isu sosial dan politik lokal. Menyuarakan dinamika Kabupaten Sampang, terutama saat kebijakan pemerintah tak berpihak pada rakyat. Menulis adalah ruang juang saya untuk menyampaikan kebenaran dan membela hak warga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pilkades Sampang Ditunda, Hak Konstitusional Raib, Kemendagri Bungkam?

2 April 2025   12:44 Diperbarui: 2 April 2025   12:44 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: infopublik.id

Demokrasi Desa Kabupaten Sampang di Ambang Keruntuhan

Demokrasi tidak hanya bergema di Istana Negara atau gedung parlemen; ia berdenyut paling kuat di jantung komunitas terkecil: desa. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) adalah wujud nyata kedaulatan rakyat di tingkat akar rumput, momen sakral di mana warga menentukan arah kepemimpinan dan pembangunan desa mereka. Namun, apa jadinya jika pesta demokrasi ini ditunda tanpa kejelasan, bahkan tanpa batas waktu? Inilah realitas pahit yang dihadapi puluhan desa di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.

Pilkades Sampang ditunda secara tak berujung, memicu pertanyaan fundamental tentang penghormatan terhadap hak konstitusional warga dan peran negara, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yang terkesan membisu. Penundaan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan potensi penggerusan fondasi demokrasi lokal yang selama ini kita banggakan. Situasi ini mendesak untuk dikaji lebih dalam, mengungkap lapisan-lapisan masalah yang menyelimuti nasib demokrasi di Sampang.

Kronologi Penundaan Pilkades Sampang yang Tak Kunjung Usai

Awalnya, Pilkades serentak di Sampang direncanakan mengikuti jadwal nasional atau regional yang telah ditetapkan. Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang memutuskan untuk menunda pelaksanaannya. Alasan awal yang mengemuka seringkali berkisar pada isu kesiapan anggaran, stabilitas keamanan, atau penyesuaian regulasi pasca-pemilu nasional.


Masalahnya, penundaan ini berubah dari yang semula diharapkan memiliki tenggat waktu jelas, menjadi sebuah ketidakpastian yang menggantung. Pemkab Sampang belum memberikan tanggal pasti kapan Pilkades akan dilaksanakan. Keputusan ini menciptakan vakum legitimasi di tingkat desa, karena posisi Kepala Desa definitif menjadi kosong dan digantikan oleh Penjabat (Pj) Kepala Desa yang ditunjuk oleh Bupati.


Ketidakjelasan ini menimbulkan keresahan, tidak hanya bagi para calon kepala desa yang telah bersiap diri, tetapi terutama bagi masyarakat desa yang hak pilihnya seolah "dibekukan" tanpa batas waktu. Komunikasi dari pihak Pemkab terkait alasan detail dan rencana tindak lanjut penundaan ini pun dirasa minim oleh banyak pihak.


Alasan Resmi vs. Spekulasi di Balik Layar


Secara formal, Pemkab Sampang mungkin mengemukakan alasan-alasan teknis seperti:

  • Kesiapan Anggaran: Pembiayaan Pilkades serentak membutuhkan alokasi dana yang signifikan dalam APBD. Penundaan bisa jadi dalih menunggu kesiapan anggaran yang memadai.
  • Kondusifitas Keamanan: Pilkades, terutama di daerah dengan riwayat tensi politik tinggi, seringkali dianggap rawan konflik. Pemkab mungkin berdalih menunda demi menjaga stabilitas keamanan.
  • Penyesuaian Regulasi: Adanya perubahan peraturan dari pemerintah pusat (UU Desa, Permendagri) terkadang dijadikan alasan untuk menunda sembari melakukan penyesuaian teknis pelaksanaan.
  • Fokus pada Agenda Nasional/Regional Lain: Terkadang, agenda pemerintah daerah yang lain dianggap lebih prioritas, sehingga Pilkades "dikorbankan" untuk sementara waktu.

Namun, di balik alasan-alasan resmi tersebut, kerap muncul spekulasi di kalangan masyarakat dan pengamat:

  • Kepentingan Politik Lokal: Penundaan bisa jadi strategi untuk mempertahankan status quo atau memberi waktu bagi kelompok kepentingan tertentu untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Penunjukan Pj Kades yang loyal kepada elite tertentu juga bisa menjadi motif.
  • Ketidaksiapan Penyelenggara: Ada kemungkinan panitia Pilkades di tingkat kabupaten atau desa memang belum siap secara teknis maupun administratif.
  • Menghindari Potensi Kekalahan Petahana atau Calon Unggulan Tertentu: Meskipun sulit dibuktikan, motif politik untuk menunda demi keuntungan elektoral pihak tertentu selalu menjadi bayang-bayang dalam isu penundaan pemilu/pilkada.

Penting untuk membedah mana alasan yang legitimate berdasarkan kondisi objektif dan mana yang berpotensi menjadi dalih untuk menutupi motif lain. Transparansi dari Pemkab Sampang menjadi kunci yang hilang di sini.

Pelanggaran Hak Konstitusional: Suara Rakyat yang Dibungkam

Penundaan Pilkades yang tidak jelas juntrungannya bukan sekadar masalah administratif, tetapi menyentuh hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Beberapa hak yang tercederai antara lain:

  • Hak untuk Memilih (Pasal 28E ayat 3 UUD 1945): Setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Secara implisit, ini mencakup hak untuk memilih pemimpinnya dalam proses yang demokratis dan berkala. Penundaan tak berujung merampas kesempatan warga menggunakan hak pilihnya sesuai waktu yang seharusnya.
  • Hak untuk Dipilih (Pasal 28D ayat 3 UUD 1945): Warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Para calon kepala desa yang siap berkompetisi dirugikan karena proses pemilihan ditunda tanpa kepastian, menghambat hak mereka untuk dipilih.
  • Hak atas Kepastian Hukum (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Penundaan tanpa dasar hukum yang kuat dan tanpa batas waktu yang jelas menciptakan ketidakpastian hukum bagi seluruh warga desa yang terdampak.
  • Hak Berpartisipasi dalam Pemerintahan (Pasal 43 UU No. 39/1999 tentang HAM): Setiap warga negara berhak untuk turut serta dalam pemerintahan, baik langsung maupun melalui wakil yang dipilihnya secara bebas. Pilkades adalah salah satu bentuk partisipasi langsung di tingkat desa. Penundaan menghalangi hak partisipasi ini.

Penundaan Pilkades memang dimungkinkan oleh regulasi (misalnya UU Desa No. 6/2014 dan Permendagri terkait) dalam kondisi force majeure seperti bencana alam atau gangguan keamanan skala besar. Namun, penundaan tersebut haruslah bersifat sementara, memiliki alasan yang objektif dan transparan, serta diikuti dengan penetapan jadwal baru yang jelas. Penundaan tak berujung seperti di Sampang jelas keluar dari koridor ini dan berpotensi kuat melanggar hak-hak konstitusional tersebut.

Dampak Domino Penundaan Pilkades

Penundaan Pilkades Sampang yang berlarut-larut menimbulkan efek domino yang merugikan berbagai aspek kehidupan desa:

  • Vakum Kepemimpinan Definitif: Desa dipimpin oleh Pj Kades yang memiliki kewenangan terbatas, terutama dalam mengambil kebijakan strategis jangka panjang. Legitimasi Pj Kades juga seringkali dipertanyakan oleh sebagian warga karena tidak dipilih langsung.
  • Terhambatnya Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa: Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) bisa terganggu. Pj Kades mungkin ragu mengambil keputusan alokasi anggaran strategis tanpa mandat penuh dari rakyat. Akibatnya, program pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan layanan publik bisa mandek atau berjalan lambat.
  • Menurunnya Kepercayaan Publik: Ketidakpastian dan minimnya transparansi dari Pemkab dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Hal ini bisa memicu apatisme politik atau bahkan potensi konflik sosial di tingkat desa.
  • Kerugian bagi Calon Kades: Para calon yang sudah mengeluarkan biaya dan energi untuk sosialisasi dan kampanye dirugikan secara materiil dan moril. Ketidakpastian membuat mereka sulit merencanakan langkah selanjutnya.
  • Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Posisi Pj Kades yang diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa rawan intervensi atau politisasi, terutama jika penunjukannya tidak transparan dan akuntabel.

Dampak ini menunjukkan bahwa penundaan Pilkades bukan sekadar isu elite politik, tetapi berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak di desa.

Sikap Membisu Kemendagri: Restu Terselubung?

Di tengah polemik penundaan Pilkades Sampang, sorotan tajam juga diarahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai instansi pemerintah pusat yang memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk Pilkades. Sesuai amanat UU Desa dan peraturan turunannya, Kemendagri memiliki peran strategis:

  • Menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK): Kemendagri membuat aturan main pelaksanaan Pilkades secara nasional.
  • Melakukan Pembinaan dan Pengawasan: Memastikan Pemda menyelenggarakan Pilkades sesuai aturan.
  • Memberikan Arahan dan Solusi: Jika terjadi masalah atau sengketa dalam penyelenggaraan Pilkades, Kemendagri diharapkan dapat memberikan panduan atau memfasilitasi penyelesaian.

Namun, dalam kasus penundaan Pilkades Sampang yang tak berujung ini, sikap Kemendagri terkesan pasif dan cenderung membisu. Belum ada pernyataan resmi, teguran, atau langkah konkret dari Kemendagri untuk mendorong Pemkab Sampang segera memberikan kepastian jadwal Pilkades.

  • Keheningan Kemendagri ini menimbulkan berbagai interpretasi:
  • Pembiaran: Kemendagri mungkin menganggap ini masalah lokal yang harus diselesaikan sendiri oleh Pemkab Sampang, tanpa melihat adanya potensi pelanggaran konstitusional yang lebih luas.
  • Kurangnya Informasi atau Prioritas: Dimungkinkan, Kemendagri belum mendapatkan laporan lengkap atau menganggap isu ini belum cukup mendesak dibandingkan agenda nasional lainnya.

Dukungan Tersirat (Implied Support): Yang paling mengkhawatirkan, sikap diam ini bisa diartikan sebagai bentuk "persetujuan" atau setidaknya tidak adanya keberatan dari pemerintah pusat terhadap kebijakan penundaan tersebut. Ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa penundaan Pilkades tanpa alasan kuat dan tanpa batas waktu bisa ditoleransi.

Sikap Kemendagri ini kontras dengan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan. Ketika hak konstitusional warga terancam oleh kebijakan pemerintah daerah, seharusnya pemerintah pusat hadir sebagai penjamin tegaknya aturan dan konstitusi. Bungkamnya Kemendagri dalam kasus Sampang adalah preseden buruk bagi demokrasi lokal di Indonesia.

Apa Kata Regulasi tentang Penundaan Pilkades?

Regulasi utama yang mengatur Pilkades adalah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang secara spesifik mengatur tata cara pemilihan kepala desa.
Secara umum, regulasi memungkinkan penundaan Pilkades dalam kondisi tertentu, seperti:

  • Bencana Alam: Gempa bumi, banjir, atau bencana lain yang melumpuhkan wilayah pemilihan.
  • Gangguan Keamanan: Konflik sosial berskala luas atau situasi keamanan lain yang tidak memungkinkan pemungutan suara.
  • Force Majeure Lainnya: Kondisi luar biasa yang ditetapkan oleh pejabat berwenang.

Namun, perlu digaris bawahi:

  • Alasan Harus Jelas dan Objektif: Penundaan tidak boleh didasarkan pada alasan politis atau kesiapan anggaran semata (anggaran seharusnya sudah direncanakan).
  • Bersifat Sementara: Penundaan dimaksudkan untuk sementara waktu hingga kondisi memungkinkan, bukan tanpa batas waktu.
  • Harus Ada Penetapan Jadwal Baru: Pemerintah daerah wajib segera menetapkan jadwal baru setelah kondisi memungkinkan.

Penundaan Pilkades Sampang yang tak berujung (indefinite postponement) jelas tidak sejalan dengan semangat regulasi tersebut. Tidak adanya bencana alam masif atau gangguan keamanan berskala luas yang dilaporkan secara resmi membuat alasan penundaan menjadi kabur dan patut dipertanyakan legitimasinya.

Mencari Solusi: Mengembalikan Hak Rakyat Sampang

Situasi genting ini membutuhkan langkah konkret dari berbagai pihak untuk mengembalikan hak demokrasi warga Sampang:

1. Tuntutan Transparansi dan Kepastian dari Pemkab Sampang: Masyarakat sipil, DPRD Sampang, dan media massa perlu terus mendesak Pemkab Sampang untuk:

  • Memberikan penjelasan resmi dan detail mengenai alasan penundaan.
  • Segera menetapkan jadwal pasti pelaksanaan Pilkades serentak.

2. Intervensi Aktif Kemendagri: Kemendagri harus proaktif:

  • Memanggil dan meminta klarifikasi dari Pemkab Sampang.
  • Memberikan teguran atau sanksi jika ditemukan pelanggaran prosedur atau penyalahgunaan wewenang.
  • Mendorong penetapan jadwal Pilkades secepatnya.
  • Menegaskan sikap bahwa penundaan tak berujung tidak dapat dibenarkan.

3. Upaya Hukum (Legal Action): Warga atau kelompok masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dapat mempertimbangkan:

  • Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap surat keputusan penundaan.
  • Mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung jika ada Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) yang bermasalah terkait penundaan.
  • Melaporkan potensi maladministrasi ke Ombudsman RI.

4. Pengawasan oleh DPRD Sampang: DPRD sebagai representasi rakyat di daerah memiliki fungsi pengawasan yang krusial. DPRD harus menggunakan hak interpelasi atau hak angket untuk meminta pertanggungjawaban Bupati Sampang.

5. Solidaritas dan Advokasi: Organisasi masyarakat sipil (LSM), akademisi, mahasiswa, dan pegiat demokrasi perlu membangun solidaritas dan melakukan advokasi bersama untuk menekan para pengambil kebijakan.

Menuntut Kepastian, Menjaga Demokrasi

Penundaan Pilkades Sampang yang berlangsung tanpa kejelasan waktu adalah alarm bahaya bagi demokrasi lokal di Indonesia. Ini bukan sekadar isu administratif, melainkan perampasan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih, serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan desa. Dampaknya terasa nyata dalam bentuk vakum kepemimpinan, terhambatnya pembangunan, dan lunturnya kepercayaan publik.

Sikap Kemendagri yang cenderung membisu dalam kasus ini sangat disayangkan dan patut dipertanyakan. Sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, Kemendagri seharusnya tampil sebagai garda terdepan dalam memastikan Pilkades berjalan sesuai aturan dan hak konstitusional warga terlindungi. Keheningan ini justru dapat diartikan sebagai lampu hijau bagi praktik penundaan Pilkades yang sewenang-wenang di daerah lain.

Saat ini, yang dibutuhkan adalah kepastian. Pemkab Sampang harus segera memberikan jadwal yang jelas dan transparan. Kemendagri harus mengambil peran aktifnya. Jika tidak, demokrasi di tingkat desa, tempat partisipasi warga paling nyata, akan terus tergerus oleh ketidakpastian dan potensi kepentingan politik sesaat. Menjaga Pilkades berarti menjaga denyut nadi demokrasi Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda tentang situasi penundaan Pilkades di Sampang ini? Apakah Anda memiliki pengalaman serupa di daerah Anda? Bagikan pandangan dan pengalaman Anda di kolom komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun