Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mempertimbangkan Kembali Tren Lama "Siswa SMA Mengecat Pakaian Saat Berita Kelulusan"

3 Mei 2022   02:52 Diperbarui: 3 Mei 2022   02:56 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mempertimbangkan kembali tren lama siswa mengecat dan menulis pada seragam sekolah saat berita kelulusan |Dokumen diambil dari Facebook Finsen Rahja

Adakah cara lain mengungkapkan kegembiraan ketika lulus UAN nanti secara lebih baik dan terhormat? Mungkinkah para siswa-siswi itu tanpa mengecat wajah dan pakaian mereka?

Sebentar lagi ada pengumuman kelulusan Ujian Nasional (Uan) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat, juga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Masih ingat kan? 

Hari pengumuman kelulusan itu merupakan hari yang penuh sukacita. Tidak sedikit pelajar yang lulus mengungkapkan kegembiraan mereka dengan berbagai cara, khususnya untuk siswa-siswi tingkat SMA.

Bahkan pada hari pengumuman kelulusan para siswa-siswi datang ke sekolah membawa sesuatu  untuk dekorasi tubuh dan pakaian mereka. Mungkin saja kita pernah mengalami masa-masa itu.

Kemarin saya melihat foto di Facebook anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan coretan nama dan tulisan-tulisan pada baju dan celana mereka.

Foto itu sempat membuat saya terdiam sejenak, sambil bertanya, kok trend itu masih ada ya? Saya pikir sudah berakhir di tahun 1998. Ya, gaya lama yang heboh di masa orde baru itu ternyata tetap saja terbawa dan terpelihara hingga sekarang.

Pertanyaanya, apa yang menarik dari coretan dan sobekan pakaian pada momen pemberitahuan kelulusan itu? Saya tidak tahu di kota-kota besar seperti apa, kalau di Flores kenyataan itu tetap saja sampai dengan saat ini.

Mungkin bisa saya sebutkan itu sebagai fenomena siswa tidak bisa berubah. Ya, soalnya apakah ungkapan kegembiraan itu harus diungkapkan dengan cara lama?

Cara lama adalah mengecat semua pakaian seragam sekolah hingga rambut kepala. Wajah, baju dan celana penuh tulisan. Sebuah atraksi yang benar-benar dangkal dan tidak elok di depan mata.

Saya masih ingat ketika masih SMA dulu, pesan ayah saya seperti ini: "Ema ma dheko ata atau nak jangan ikut orang khususnya yang tidak baik." Sebetulnya ungkapan itu lebih merupakan pesan moral yang sederhana.

Bukan berarti bahwa  saya tidak boleh bahagia, tetapi bahwa kebahagiaan karena kesuksesan itu tidak perlu terlalu berlebihan sampai merugikan diri sendiri dan orang lainnya.

Dari nasihat sederhana itulah, pakaian seragam SMA saya tetap bersih walaupun saya dinyatakan lulus. Lulus tanpa begitu cepat menjadi gila dan lupa bahwa orangtua di kampung pernah bercucuran keringat membeli pakaian seragam sekolah.

Saya tidak tahu mengapa tren itu ada dan masih saja dibawa sampai sekarang. Di mana sisi baiknya? Bagi saya kegembiraan dan kesuksesan itu boleh saja dirayakan, tetapi tidak dengan mencoret dan membuat suasana kota jadi chaotisch pada seluruh badan dan pakaian.

Ada banyak alasan rupanya mereka lakukan itu, antara lain bahwa pakaian itu merupakan kenangan terakhir masa SMA, tentu seragam itu tidak akan dipakai lagi untuk pergi kuliah nantinya. 

Benar sih, cuma apakah harus mengakhirinya dengan membuat pakaian itu dalam waktu sehari tidak layak dipakai selama-lamanya? Masih lebih terhormat pakaian itu diberikan kepada adik-adik kelas yang membutuhkannya daripada harus merobek dan menuliskan sampai pada kata-kata yang tidak wajar ada di sana.

Mungkin hal itu belum diperhitungkan dalam sesi pelajaran waktu Sekolah Menengah Atas sehingga fenomena itu tetap saja dibawa-bawa sampai sekarang.

Transisi dari SMA ke Perguruan Tinggi tidak harus dengan menciptakan kenangan "rusak"

Kenangan "rusak" mungkin bisa menjadi gambaran dari ungkapan perasaan siswa-siswi pada hari pengumuman kelulusan. Soalnya bukan saja pakain seragam sekolah penuh tulisan dan warna, tetapi mereka sendiri juga mengkonsumsi minuman keras.

Hari bahagia yang bisa saja berubah jadi pilu dan duka. Kebahagiaan tidak harus diungkapkan dengan cara mencoret pakaian dan badan, tetapi mengapa para para siswa kita tidak bisa berubah?

Para siswa yang baru saja tamatan SMA bisa saja begitu berbangga sampai bahwa berpakain seragam dengan kancing baju terbuka lalu menyimpan foto di FB mereka.

Mereka kira itu kenangan indah dan yang membanggakan. Bahkan hampir pasti tidak ada yang pernah mencoba mengoreksi kecenderungan itu.

Buktinya bahwa dari dulu sampai sekarang, hal itu masih tetap sama dan dilakukan berulang kali setiap tahunnya. Rupanya, momen pengumuman kelulusan itu adalah momen pewarisan  tradisi yang salah.

Oleh karena itu, beberapa hal ini penting dilakukan:

1. Para guru perlu mengarahkan kembali para siswa terkait ungkapan kegembiraan yang baik dan benar

Tanggung jawab guru semestinya bukan saja berhenti pada tanggung jawab akademis di sekolah, tetapi juga tanggung jawab moril yang perlu ditanamkan selanjutnya kepada para siswa diluar lingkungan pendidikan formal di ruang kelas.

Guru bisa saja pada hari pengumuman kelulusan mengumumkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan, seperti memboikot jalan umum, pawai di jalan sambil merusakan fasilitas umum, bahkan tidak perlu sampai mencoret pakaian dan tulisan-tulisan yang tidak senonoh lainnya.

2. Orangtua perlu memberitahu anak-anak mereka bahwa kelulusan saat ini belum menjadi akhir dari segalanya

Poin tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak mereka sangat penting supaya tidak lupa mengarahkan anak-anak mereka untuk berpikir kritis dan benar dalam mengungkapkan perasaan mereka.

Saya percaya bahwa semua orangtua tidak menyetujui perlakuan anak-anak mereka yang tampaknya rusak. Apalagi di mata orangtua yang memberikan anak-anak mereka uang untuk membeli pakaian, kemudian pakaian yang masih bagus itu disobek dan dicat. 

Apa kata orangtua yang pasti tahu dengan baik sekali bahwa semua itu didapat dengan uang dan keringat hasil kerja keras mereka.Ya, berilah penjelasan agar anak-anak bisa belajar menghargai pemberian orang tua dan supaya mereka punya wawasan yang mencintai kerja dan fasilitas umum.

3. Tanggung jawab pihak keamanan kota

Fenomena para siswa-siswi yang lulus mengungkapkan kegembiraan mereka itu perlu mendapat perhatian pihak keamanan bangsa kita. Soalnya kalau tidak dikendalikan, maka sangat mungkin terjadinya kecelakaan, keributan dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

Penertiban siswa-siswi yang berlebihan mengungkapan kegembiraan mereka mungkin perlu dilakukan, tentu dengan cara yang wajar, supaya mereka punya mentalitas yang bisa menghargai lingkungan sosial dan cara berpikir dewasa.

Oleh karena itu, pihak sekolah perlu membangun kerja sama dengan pihak keamanan setempat untuk mengatur lalu lintas jalan dan khususnya di lingkungan persekolahan.

Catatan kritis: Fenomena coret pakaian dan kualitas lembaga pendidikan

Mengapa fenomena mengecat dan menyobek pakaian pada hari pemberitahuan kelulusan itu tidak ada di Eropa? Saya belum pernah melihat kegaduhan pada saat pengumuman kelulusan anak-anak SMA di Jerman misalnya.

Tampak ribut itu memang sangat kelihatan, tetapi menjadikan wajah mereka seperti pada saat karnaval sepertinya tidak ada. Nah, apakah fenomena itu merupakan bagian dari budaya kita?

Kalau bagian dari budaya yang diterima, maka tetap saja penting bahwa perlu diarahkan agar para siswa bisa belajar menghargai lingkungan, belajar menghargai tubuh mereka sendiri dan orang lain, belajar respek pada lingkungan sosial.

Anehnya bahwa ada keunikan yang pernah saya lihat, semakin sebuah lembaga pendidikan itu berkualitas, sebenarnya terlihat sekali bahwa fenomena corat-coret pakaian itu semakin tidak menonjol.

Apakah guru-guru sudah mengarahkan mereka? Ataukah benar-benar para siswa sendiri menyadari bahwa hal itu tidak ada manfaatnya.

Mungkinkah fenomena itu bisa menjadi ukuran kualitas pendidikan pada lembaga pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas yang berbeda-beda?

Kalau itu ada kaitannya dengan kualitas pendidikan, maka perlu adanya suatu evaluasi dan pembaharuan atau semacam reformasi mentalitas para siswa. Nah, kalau seperti itu, maka tentunya guru punya tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi yang tepat sasar pada momen terakhir keberadaan mereka di suatu lembaga pendidikan setingkat SMA.

Demikian beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan kembali oleh pihak-pihak yang terkait, seperti para guru, orangtua dan pihak keamanan secara khusus pihak kepolisian. Barangkali melalui tulisan ini kita diingatkan agar bisa mengarahkan anak-anak dan para siswa-siswi kita secara baik, terkait dalam mengungkapkan rasa gembira dan kebebasan mengungkapkan rasa syukur karena lulus Ujian Nasional nanti. 

Salam berbagi, ino, 3.05.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun