Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

NTT Membutuhkan Pemimpin Beradab dengan Wawasan Cultural Diversity

3 Desember 2021   20:31 Diperbarui: 8 Desember 2021   20:35 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NTT Membutuhkan Pemimpin yang Beradab dengan wawasan cultural diversity | Dokumen diambil dari: Biro Administrasi Pimpinan Setda Pemprov NTT via Kompas.com

Dalam kaitan dengan video terkait Gubernur NTT dan komentar warga netizen NTT, tulisan ini coba menyoroti aspek penting dari hubungan antara kepemimpinan dan adat istiadat dan budaya kesopanan di NTT.

Konsep tentang kepemimpinan bagi masyarakat NTT umumnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya dan adat istiadat yang berlaku. Ya, semua itu karena masyarakat NTT khususnya hidup dalam kaitan erat dengan adat. Adat itulah yang menuntun orang atau masyarakat menjadi beradab. 

Tidak heran dalam keseharian hidup masyarakat NTT , jika ditemukan orang dengan kata-kata yang kurang sopan, yang dengan sengaja mengucapkannya untuk mempermalukan orang lain, maka selalu dianggap ucapan itu tidak beradab. 

Mengapa orang yang mempermalukan orang lain di depan umum dengan kata-kata yang tidak pantas untuk seorang manusia itu disebut tidak beradab?

Dalam tulisan ini saya menyoroti salah satu gagasan dari perspektif ungkapan adat Sumba dan ungkapan adat Ende. Meskipun demikian, saya percaya dalam setiap suku selalu ada ucapan terkait manusia.

1. Konsep tentang manusia dalam tutur adat Sumba: Ata, Anagu, Parawi pamagholo na mori

Tidak jauh berbeda dengan ucapan adat Ende, orang sumba menyebut manusia itu dengan kata "Ata" Ata dalam bahasa Ende berarti orang. Sering disebut ata kita atau orang kita. 

Ungkapan adat Sumba sangat jelas merujuk pada identitas manusia itu sendiri. Manusia adalah pamarawi atau yang dibuat; bahkan ada juga arti yang lain seperti pamagholo yang berarti diciptakan, sedangkan kata Mori atau Maramba adalah sebutan untuk Tuhan. 

Dari ungkapan Ata, Anagu, Parawi pamagholo na mori sangat jelas menunjukkan gagasan penting tentang siapakah manusia dalam struktur adat Sumba. Manusia adalah orang yang dibuat, diciptakan Tuhan.

Nah, pengakuan tentang manusia dengan latar belakang filosofi adat yang dalam tentu sangat menjadikan masyarakat Sumba menghormati manusia, ya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dasar itulah yang perlu diketahui oleh siapa saja dan secara khusus para pemimpin dalam bertutur kata. 

2. Konsep umum masyarakat adat Ende-Lio tentang manusia: "Ngai sia rende mbara."

Manusia sudah dihormati sejak dalam kandungan ibunya. Tidak heran ibu hamil selalu dijaga. Bahkan tidak diperkenankan berjalan sendiri, atau tinggal sendiri. Sikap berjaga-jaga ini berkaitan erat dengan kenyamanan anak dalam kandungan ibu. Urusannya bukan lagi untuk satu orang saja, tetapi untuk dua orang.

Rasa hormat pada manusia itu dinyatakan secara terang pada saat seorang ibu melahirkan. Keluarga yang menyambut kelahiran bayi mengucapkan kata-kata ini, "Ngai sia, rende mbara," atau secara harafiah berarti semoga bisa bernafas lega dengan hati yang terang. Namun secara konotasi ungkapan itu berarti semoga menjadi orang yang bisa membawa terang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun