Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

NTT Membutuhkan Pemimpin Beradab dengan Wawasan Cultural Diversity

3 Desember 2021   20:31 Diperbarui: 8 Desember 2021   20:35 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NTT Membutuhkan Pemimpin yang Beradab dengan wawasan cultural diversity | Dokumen diambil dari: Biro Administrasi Pimpinan Setda Pemprov NTT via Kompas.com

"Keseimbangan hidup seorang pemimpin tidak hanya cukup dengan wawasan tentang kepemerintahaan, tetapi juga mencakup pola hidup, pola makan, pola tidur, dan pola pendekatan budaya kepada masyarakat adat."

Belum lama ini beredar video pertemuan antara Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan warga Sumba Timur di Sumba. Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah warga, aparat keamanan Polri dan TNI. 

Potongan video itu adalah cuplikan video ketika Gubernur NTT sedang naik pitam saat ada tanggapan dari seorang bapak yang disinyalir adalah kepala suku dan sekaligus pemilik tanah. (Lihat dalam video viral debat panas dengan tokoh adat Sumba soal lahan, Kompas.com: Jumat, 3 Desember 2021).

Kata-kata seperti "diam, monyet..." keluar dari bapak Gubernur NTT. Tentu kata-kata seperti itu sungguh memalukan bapak yang sedang berbicara di depan bapak Gubernur. Tidak heran setelah mendengar ucapan itu, bapak kepala suku itu bangun dari tempat duduknya lalu pergi meninggalkan tempat pertemuan. 

Sejumlah masyarakat yang ada pada saat itu pun ikut meninggalkan tempat pertemuan. Seorang pemuda sempat mengatakan seperti ini, "kurang apalagi kami sudah beri tanah banyak sekali. Kenapa masih..... Kita su ini." 

Video cuplikan pertemuan dan adu mulut Gubernur dan masyarakat suku Sumba Timor itu menuai banyak komentar yang umumnya menyoroti gaya kepemimpinan seorang gubernur NTT. 

Ya pro dan kontra selalu saja ada. Menariknya bahwa sehari setelah video caci maki gubernur itu beredar, muncul pula video berikutnya yang terkait dengan janji bapak Viktor Laiskodat entah kapan.

Dalam video itu dibumbui dengan kata-kata penuh janji. Jika ia sebagai gubernur, maka ribuan anak-anak NTT akan dikirimnya Studi ke Eropa, Australia dan beberapa negara lainnya. Pokoknya Gubernur NTT akan mengirimkan anak-anak NTT untuk Studi di luar negeri, lalu kembali bekerja di kampungnya. 

Video itu menuai banyak komentar, netizen warga NTT menagih janji, "Sudah berapa banyak yang bapak Gubernur kirimkan ke luar negeri untuk Studi Pak? Demikian satu pertanyaan yang masih saya ingat. 

Dari sekian banyak komentar terlihat jelas sekali bahwa itu cuma janji doang. Mungkin itu janji manis sebelum pemilihan gubernur (pilgub). Nah, rupanya NTT perlu disoroti juga terkait tema gaya kepemimpinan dan cara pendekatan sesuai konteks budaya di NTT.

Dalam kaitan dengan video terkait Gubernur NTT dan komentar warga netizen NTT, tulisan ini coba menyoroti aspek penting dari hubungan antara kepemimpinan dan adat istiadat dan budaya kesopanan di NTT.

Konsep tentang kepemimpinan bagi masyarakat NTT umumnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya dan adat istiadat yang berlaku. Ya, semua itu karena masyarakat NTT khususnya hidup dalam kaitan erat dengan adat. Adat itulah yang menuntun orang atau masyarakat menjadi beradab. 

Tidak heran dalam keseharian hidup masyarakat NTT , jika ditemukan orang dengan kata-kata yang kurang sopan, yang dengan sengaja mengucapkannya untuk mempermalukan orang lain, maka selalu dianggap ucapan itu tidak beradab. 

Mengapa orang yang mempermalukan orang lain di depan umum dengan kata-kata yang tidak pantas untuk seorang manusia itu disebut tidak beradab?

Dalam tulisan ini saya menyoroti salah satu gagasan dari perspektif ungkapan adat Sumba dan ungkapan adat Ende. Meskipun demikian, saya percaya dalam setiap suku selalu ada ucapan terkait manusia.

1. Konsep tentang manusia dalam tutur adat Sumba: Ata, Anagu, Parawi pamagholo na mori

Tidak jauh berbeda dengan ucapan adat Ende, orang sumba menyebut manusia itu dengan kata "Ata" Ata dalam bahasa Ende berarti orang. Sering disebut ata kita atau orang kita. 

Ungkapan adat Sumba sangat jelas merujuk pada identitas manusia itu sendiri. Manusia adalah pamarawi atau yang dibuat; bahkan ada juga arti yang lain seperti pamagholo yang berarti diciptakan, sedangkan kata Mori atau Maramba adalah sebutan untuk Tuhan. 

Dari ungkapan Ata, Anagu, Parawi pamagholo na mori sangat jelas menunjukkan gagasan penting tentang siapakah manusia dalam struktur adat Sumba. Manusia adalah orang yang dibuat, diciptakan Tuhan.

Nah, pengakuan tentang manusia dengan latar belakang filosofi adat yang dalam tentu sangat menjadikan masyarakat Sumba menghormati manusia, ya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dasar itulah yang perlu diketahui oleh siapa saja dan secara khusus para pemimpin dalam bertutur kata. 

2. Konsep umum masyarakat adat Ende-Lio tentang manusia: "Ngai sia rende mbara."

Manusia sudah dihormati sejak dalam kandungan ibunya. Tidak heran ibu hamil selalu dijaga. Bahkan tidak diperkenankan berjalan sendiri, atau tinggal sendiri. Sikap berjaga-jaga ini berkaitan erat dengan kenyamanan anak dalam kandungan ibu. Urusannya bukan lagi untuk satu orang saja, tetapi untuk dua orang.

Rasa hormat pada manusia itu dinyatakan secara terang pada saat seorang ibu melahirkan. Keluarga yang menyambut kelahiran bayi mengucapkan kata-kata ini, "Ngai sia, rende mbara," atau secara harafiah berarti semoga bisa bernafas lega dengan hati yang terang. Namun secara konotasi ungkapan itu berarti semoga menjadi orang yang bisa membawa terang.

Dalam keseharian, ungkapan Ngai sia rende mbara" adalah ungkapan yang dikenakan untuk orang yang berpendidikan, para guru dan untuk orang yang lebih mengerti tentang segala sesuatu. Pemahaman dari ungkapan adat itu sering menjadi patokan dalam keseharian bagaimana perlakuan orang-orang yang dianggap "Ngai sia, rende mbara " atau berpendidikan itu kepada masyarakat biasa. 

Demikian juga, jika seorang pemimpin tanpa memerhatikan sikap dan tutur katanya kepada masyarakat, maka kata-kata yang kasar seperti "monyet" itu bisa menjadi suatu ucapan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Dan hal seperti itu sangat tidak pantas dilakukan oleh siapapun, lebih-lebih oleh seorang pemimpin.

Pertanyaan terkait video bapak Gubernur NTT adalah mengapa VBL menjadi begitu marah dan mengeluarkan kata-kata tidak pantas itu? Ada beberapa kemungkinan yang bisa dijelaskan dalam tulisan ini:

1. Ketidakseimbangan antara pola makan, pola tidur dan kesehatan fisik-psikis

Siapa saja bisa marah karena dalam keadaan ini: semalam tidur tidak enak atau tidak cukup tidur, secara fisik ia sakit-sakitan atau juga mungkin karena sedang lapar. 

Coba amati kapan Anda menjadi marah? Tiga keadaan itu akhirnya sangat potensial menjadikan seseorang marah dengan kata-kata yang bisa dianggap kurang beradab. Nah, oleh karena itu, mengapa gubernur bisa berkata-kata kurang beradab terhadap masyarakat pada saat pertemuan itu, sangat mungkin karena VBL ada dalam tiga keadaan itu, kurang tidur, lapar dan atau sedang sakit. 

Peristiwa itu membuka wawasan baru tentang betapa pentingnya menjaga pola makan, waktu tidur dan kesehatan fisik seorang pemimpin. Hal-hal itu enggak boleh dianggap sepele lho. Ya, rupanya masih jauh dari diskusi publik dan konsep yang patut diperhitungkan dalam kaitannya dengan seorang pemimpin. Pemimpin tidak hanya berurusan dengan birokrasi lho, tapi juga dengan masyarakat biasa yang sederhana. 

Sangat mungkin bahwa ketika seorang pemimpin itu mengabaikan keseimbangan antara waktu tidur, kesehatan dan pola makan, maka dia akan kehilangan keseimbangan secara emosional.

Jadi, seorang pemimpin itu perlu memerhatikan pola makan, waktu tidurnya dan juga kesehatan fisik dan psikisnya. Jika dalam keadaan tidak maksimal, maka sebaiknya tidak perlu menghadapi hal-hal besar, apalagi yang rumit dan berbelit. Bisa juga kan delegasikan ke wakilnya atau kepala dinas? 

2. Minimnya kemampuan adaptasi budaya

"Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak." Itu buka saja suatu pepatah bohong, tetapi memang sebuah kata bijak yang mengajarkan agar orang beradab dalam hidupnya. Menjadi beradab di tengah masyarakat yang punya adat istiadat itu sebenarnya sederhana; ya, orang perlu menyesuaikan diri dengan adat istiadat masyarakat setempat. 

Siapa saja sebagai seorang tamu yang datang akan disambut secara adat, itu cara lazim masyarakat NTT. Cara adat dan sopan santun ala masyarakat NTT yang berakar dalam filosofi adat mereka bahwa seorang pemimpin itu adalah ata ngai sia, rende mbara atau orang yang berpendidikan. Bahkan tidak jarang tamu dikalungi dengan kain adat sebagai ungkapan penerimaan secara adat. 

Pengalungan itu bukan asal-asal lho. Itu punya makna yang dalam. Dalam tutur adat Ende misalnya ada ungkapan "kami simo nee ate masa." atau kami terima dengan hati yang tulus dan bersih. Momen penerimaan bagi masyarakat NTT adalah juga momen terhormat. 

Bagi orang Sumba momen penerimaan tamu adalah momen istimewa, karena itu orang Sumba menyapa para tamu dengan ucapan ini, "O baku amagu, oo baku inagu" atau o bapa dan ibuku tuan kami. Ya, suatu ungkapan yang sangat berwibawa dan dengan rasa respekt yang tinggi (respektvoll).

Seseorang tamu yang telah mengenakan pakaian adat, dia akan dianggap juga sebagai bagian dari suku secara adat. Nah, pengenaan secara simbolis simbol keanggotaan suku itu sangat penting dalam kerangka pendekatan seorang pemimpin. 

Tanpa simbol-simbol itu kehadiran seseorang, siapapun dia selalu kurang nyaman atau bahkan tidak dikenal. Simbol budaya itu adalah juga sebuah identitas. Sebaliknya mengenakan simbol budaya tertentu, sama dengan tanda bahwa seseorang siap menjadi bagian dari mereka, menjadi sama seperti mereka. Simbol budaya yang dikenakan itu akan menjadi sarana yang memunculkan getaran nadi persaudaraan. 

Pemimpin di NTT yang tidak memerhatikan simbol budaya masyarakat adat, rupanya sulit mendekati masyarakat secara baik dan akrab. NTT membutuhkan seorang pemimpin yang bisa memerhatikan simbol budaya bukan konfrontasi dengan gaya mengintimidasi. 

Catatan kritis: Adaptasi budaya atau konfrontasi budaya dengan gaya intimidasi?

Sejauh yang saya ikuti perkembangan tentang NTT, ya NTT termasuk provinsi yang rawan sekali terjadi konflik antara masyarakat berhadapan dengan pemerintah. Konflik itu terkait banyak hal; dalam urusan hibah tanah, urusan tambang batu dan pasir, urusan jual beli tanah, urusan pencaplokan tanah yang didukung oleh pihak-pihak tertentu.

Latar belakang kehidupan masyarakat NTT umumnya sangat kuat melekat dengan adat istiadat. Di sana ada macam-macam bahasa daerah, macam-macam suku, ada pula tanah suku dan lain sebagainya.

Nah, rencana strategi (Renstra) pembangunan di NTT sering sekali bentur dengan masyarakat, hal ini karena beberapa kemungkinan:

1. Ketidakjelasan status hukum tanah yang menjadi hak ulayat masyarakat. Ketidakjelasan ini bisa saja karena pemerintah setempat tidak serius mengurusnya, malah berusaha mencaploknya. 

2. Lemahnya pendekatan yang berbasiskan budaya. Umumnya masyarakat NTT tidak menyukai jika ada konfrontasi budaya dengan gaya kepemimpinan yang menyepelekan budaya dan adat istiadat tertentu. Ya, adaptasi itu merupakan pendekatan yang terbaik dan bukan mencela dan mengintimidasi.

3. Wawasan tentang cultural diversity perlu dipahami secara mendalam oleh pemimpin. Cultural diversity bukan hanya sampai pada sebuah seremoni dangkal saja, tetapi mesti sampai kepada aspek keseharian yang tidak formal. Dalam hal ini seorang pemimpin di NTT perlu mempelajari ucapan adat dari macam-macam daerah dan maknanya.

4. Dialog dan komunikasi dengan masyarakat adat perlu dilakukan dalam rumah adat, dengan tutur kata yang baik. 

Demikian ulasan terkait dengan NTT yang membutuhkan pemimpin yang beradab dengan wawasan cultural diversity. Ulasan ini bermaksud agar para pemimpin di NTT bisa sedikit belajar dari filosofi adat masyarakat, sehingga tidak mudah menghakimi atau bahkan mencaci masyarakat adat. Mengikuti tata krama sesuai adat istiadat masyarakat setempat menjadikan seseorang lebih dihargai dan beradab. Jadilah pemimpin yang peka terhadap cultural diversity.

Salam berbagi, ino, 3.12.2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun