Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Melepas Pergikan Jenazah Saat Ini Menjadi Begitu Sunyi?

20 Juli 2021   04:02 Diperbarui: 20 Juli 2021   04:51 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesunyian pemakaman pada masa pandemi | Dokumen pribadi oleh Ino

Kemeriahan kematian berakhir tanpa protes, euforia kemodernan pudar tanpa ada gugatan,.... dia pergi dalam sunyi, kembali ke pangkuan Sang Pencipta dalam kesunyian bumi.

Pengantar

Melepas pergikan seseorang yang sudah meninggal dunia dalam banyak budaya merupakan kisah yang bisa dikatakan momen penuh haru, tapi juga meriah. 

Dua suasana berbeda itu hadir sekaligus dalam konteks upacara kematian, bahkan secara khusus lagi pada momen pemakaman. Beberapa suku di Indonesia bahkan punya ritual kematian sendiri.

Ritual kematian yang terhubung secara kental dengan budaya dan adat istiadat masyarakat yang menaruh rasa hormat luar biasa pada arwah di beberapa daerah tertentu menjadi objek wisata yang ramai pula dikunjungi para turis.

Upacara-upacara kematian bahkan terhubung juga dengan istilah seperti prosesi kematian yang mengorbankan banyak sekali binatang korban.

Acara dihadiri ribuan orang, ada tangisan dan ratapan, nyanyian dan musik. Semua bisa terdengar di sana. Nah, itu semua rupanya cerita dan kenangan yang perlahan-lahan akan menjadi cerita dan kenangan masa lalu. 

Kematian yang kadang bisa disebut meriah perlahan-lahan kehilangan rasa dan makna oleh karena berbagai alasan, ya apalagi jika dihubungkan dengan covid19.

Ada berapa kasus kematian manusia pada masa pandemi ini yang terlihat begitu sunyi pada waktu pemakaman mereka. Rasanya sudah terlalu banyak, bahkan hampir menjadi biasa bahwa orang yang meninggal karena covid19 harus pergi dengan sunyi tanpa kehadiran banyak keluarga, sahabat dan kenalan.

Tragis, bahkan mereka harus pergi tanpa doa dan ritual adat yang layak sesuai keyakinan masyarakat setempat. Kepada siapa manusia harus protes dengan perubahan-perubahan seperti ini?

Meskipun demikian, kita jangan salah menuduh seakan-akan kepergian yang begitu sunyi itu seakan-akan budaya baru hanya karena covid19. Tidak, ceritanya tentang kepergian yang menjadi begitu sunyi itu berbeda lagi di Eropa.

Nah, ada beberapa alasan mengapa kepergian manusia menjadi begitu sunyi?

1. Karena ada tuntutan lain yang berusaha melindungi kehidupan manusia 

Alasan pertama ini berkaitan dengan konteks khusus pandemi covid19. Andaikan bukan karena protokol kesehatan, maka upaya melepas pergikan orang-orang yang sudah meninggal pasti bukan merupakan hal yang sunyi.

Alasan ini dihormati karena bahaya dan resiko penularan covid19 yang sangat cepat. Karena itu, tidak heran moment kematian dan pemakaman dirasakan begitu sunyi, ya tidak dialami sebagaimana biasanya.

Ada banyak orang, bahkan dimakamkan di tempat khusus untuk korban covid19. Tidak hanya itu beberapa cerita seperti isteri dari om saya di kota Ende misalnya, dimakamkan pada hari meninggalnya, bahkan pada waktu tengah malam, tanpa doa dan ucapan selamat jalan dari suami dan anak-anak.

Sebagai keluarga yang mengalami hal seperti itu, kami benar-benar merasakan kesunyian yang belum pernah kami alami. Tapi, itulah kenyataan yang bukan saja bagian dari pengalaman kami, tetapi telah menjadi bagian dari pengalaman banyak orang lainnya.

2. Ketidakpastian terkait penyebaran covid19 menjadi alasan orang enggan hadir dalam upacara pemakaman 

Ketidakpastian terkait penyebaran covid punya andil juga dalam menciptakan suatu suasana sunyi dalam momen pemakaman. Orang bahkan tidak bisa lagi mengatakan "ah sekarang sudah benar-benar aman, apalagi sudah dua kali divaksin."

Tidak, vaksin dua kali sama sekali bukan menjadi jaminan bahkan tidak akan terkena lagi covid. Imun sistem tubuh sangat mungkin menjadi lebih baik, tapi bukan berarti anti terkena covid.

Pertimbangan ketidakpastian itulah yang sering menjadi patokan dalam mengambil keputusan. Ya, terasa sekali bahwa kadang orang tidak peduli lagi dengan ritual, adat istiadat dan kebiasaan, bahkan tidak peduli lagi dengan warisan tradisi mereka.

Keselamatan pribadi dan orang lain sudah menjadi prioritas di satu sisi, selain itu orang perlahan-lahan belajar melupakan tradisi mereka yang sekian lama berlangsung tanpa kritis menilainya dengan aksen baru untuk lebih menghormati nilai kehidupan.

Selain alasan yang berkaitan dengan konteks pandemi, secara global ternyata alasan upacara melepas pergikan orang yang meninggal itu menjadi sunyi karena beberapa efek berikut ini:

1. Efek dari budaya modern yang tidak lagi berakar pada tradisi dan adat istiadat

Kesadaran yang muncul tentang efek dari budaya modern itu hanya karena saya pernah mengalami bagaimana konteks upacara pemakaman di Indonesia umumnya dan secara khusus dalam konteks adat di NTT misalnya.

Saya belum pernah melihat bahwa di Flores upacara pemakaman itu begitu sunyi dan sepi. Hal yang sering terjadi adalah bahwa upacara itu berlangsung beberapa hari sampai dengan upacara pemakaman.

Meskipun demikian, upacara kematian tentu belum juga selesai, ada lagi, malam ketiga, 40 malam, 100 hari, 1 tahun dan lain sebagainya. 

Belum lagi kalau dalam konteks perayaan kematian orang-orang Maumere misalnya, terasa begitu panjang dengan cerita tentang sumana-sumana sampai dengan sumana pitu, atau malam doa yang ketujuh.

Tradisi dan segala macam upacara kematian seperti itu atau bahkan yang jauh lebih meriah di Toraja dan di beberapa daerah lainnya selalu berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat yang dianut masyarakat.

Kekhasan budaya dalam merayakan kematian itu akhirnya tidak pernah dilakukan hanya beberapa orang, bahkan diyakini bahwa upacara kematian itu merupakan suatu panggilan persaudaraan dan solidaritas.

Tentu hal seperti itu berbeda sekali dengan di Eropa misalnya. Saya tidak pernah melihat bahwa ada ritual adat berhari-hari yang dihadiri ribuan orang.

Hal yang nyata terjadi adalah bahwa ditemukan upacara pemakaman hanya dengan dua atau tiga orang. Alasannya mereka sederhana yakni karena orang yang meninggal (Verstorben) sendiri tidak punya keluarga.

Keadaan tidak punya keluarga tetap saja tidak berlaku di beberapa tempat atau umumnya di Indonesia; kematian selalu saja melibatkan banyak orang. 

Jadi, sangat jelas bahwa semakin modern suatu masyarakat, maka orang akan semakin jauh dari ritual adat istiadat itu sendiri dan semakin sedikit orang lain yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, semakin suatu kelompok masyarakat itu berpegang pada adat istiadat mereka, maka akan terlihat semakin banyak orang terlibat di dalamnya, termasuk di dalam upacara kematian.

2. Efek dari egoisme

Sebagaimana KBBI menjelaskan egoisme dalam dua pengertian: pertama, sebagai suatu tingkah laku yang didasarkan pada keinginan untuk keuntungan diri semata dan kedua, sebagai  teori yang menekankan bahwa segala perbuatan selalu terjadi karena dorongan keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.

Pemahaman seperti ini benar-benar terjadi di negara-negara modern atau bahkan di kota-kota besar tidak hanya di Eropa, tetapi bisa juga di Indonesia.

Kalau seseorang itu tidak ada hubungannya dengan saya, maka saya tidak punya alasan untuk melakukan sesuatu untuknya. Saya punya pengalaman unik pada hari ini.

Sesuai dengan tugas pelayanan saya di rumah untuk orang-orang yang lanjut usia, maka tanggung jawab saya juga termasuk untuk memakamkan mereka yang sudah meninggal dunia.

Hari ini bagi saya merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya bahwa dalam suatu upacara pemakaman cuma ada dua orang. Seorang lain itu hanya karena tugas dari institusi pemakaman (Beerdigung Institut). 

Tempat pemakaman di Waldfriedhof Mombach Mainz | Dokumen pribadi oleh Ino
Tempat pemakaman di Waldfriedhof Mombach Mainz | Dokumen pribadi oleh Ino

Dalam kesunyian Friedhof atau taman damai untuk pemakaman, dan oleh  karena kesendirian dengan abu yang telah dikremasi saya hanya bisa berdoa sesuai dengan keyakinan saya untuk mengantar kepergian seorang pria yang tidak punya keluarga.

"Sesunyi itukah upacara pemakaman di sini", tanya hatiku sendiri hari ini. Ya, sebuah kepergian yang begitu sunyi, bukan karena pandemi, tetapi karena semua orang sibuk mengurus dirinya sendiri.

Saya benar-benar terkejut dengan pengalaman pertama melepas pergikan seseorang dalam suatu upacara pemakaman seorang diri pada hari ini.

Dari pengalaman pertama pada 19 Juli 2021 ini, saya benar-benar merasakan efek dari  egoisme. Tersisa cuma pertanyaan: apakah suatu saat nanti terjadi juga di negeriku? 

Tidak sanggup menahan rasa haru dan aneh, saya bercerita dengan keluarga saya di Indonesia, katanya seperti ini, "Semakin kaya seseorang, maka semakin banyak orang lain itu datang, sebaliknya jika seseorang itu orang biasa atau miskin, maka hampir pasti sangat sedikit, bahkan mungkin hanya beberapa orang yang mau hadir." (Roselina. M, 19/07/2021)

Entahkah karena dunia dan manusia ini sudah terlalu menghalalkan ketidakadilan, sehingga wabah ibarat tulah mematikan itu datang begitu misterius agar semua bisa merasakan bahwa ternyata semua manusia itu sama?

Covid19 meruntuhkan semua paham egoisme, adat istiadat dan budaya modern

Tanpa terasa keinginan manusia untuk memperoleh keuntungan diri sendiri sudah menjadi tidak mungkin, oleh karena pembatasan ruang gerak dan aktivitas sosial atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

Ruang perjuangan dan sukacita hidup saat ini adalah ruang online, sebuah ruang bebas untuk siapa saja. Adil bukan? 

Orang tidak perlu harus punya uang berjuta-juta dulu untuk melihat dan berbicara dengan keluarganya yang berada di luar negeri; yang umumnya hanya mungkin untuk orang berduit. Saat ini siapa pun bisa berbicara dengan siapa saja dan di mana saja. 

Covid19 telah juga meruntuhkan tradisi dan adat istiadat yang sebenarnya terlampau paradoks. Bagaimana tidak? Terkenal juga karena kemiskinan, tetapi jangan salah ya, coba hadir dalam upacara kematian. 

Berapa anggaran yang mereka habiskan untuk semua acara yang dihadiri ratusan, bahkan ribuan orang itu? Nah, paradoks itu runtuh saat pandemi ini. 

Berhenti bicara tentang upacara yang menghadirkan ratusan orang, karena semuanya sudah tidak dimungkinkan. Bisa jadi, saat pandemi ini adalah saat transformasi budaya dan perubahan cara pandang tentang hidup.

Demikian juga covid meruntuhkan budaya modern yang terlalu menikmati empuknya euforia dari kemodernan itu. Rasa nyaman dan kegembiraan yang berlebihan harus benar-benar diperhitungkan.

Maaf sudah sering terjadi, kok aneh ya tiba-tiba sudah kena covid19. Ya, mungkin sekarang saatnya berpikir lain dan belajar mengubah kebiasaan.

Percaya gak? Di mana-mana orang kalau ditanya hasil tes kamu positif atau negatif? Jawabnya negatif senang luar biasa. Lho kok senang kalau negatif. Pada pada tempat lain, orang mengajak kita, "ayo kita harus berpikir positif."

Negatif atau positif saat ini selalu terhubung ke hal-hal lainnya yang perlu dijelaskan dan tidak dibiarkan terpisah-pisah. Semua ada konteksnya, ada hal yang menjadi latar belakangnya.

Kesimpulan

Demikian beberapa sorotan perspektif tentang mengapa kematian manusia saat ini menjadi begitu sunyi. Covid tentu punya andil mengubah perspektif dan juga kebiasaan masyarakat modern umumnya dan mengubah adat istiadat masyarakat Indonesia khususnya. 

Namun, covid19 itu bukan satu-satunya yang menjadikan kematian itu menjadi begitu sepi, di sana ada efek dari budaya modern dan egoisme. Saya percaya bahwa teman-teman yang lain masih punya sudut pandang lain tentang tema ini. Mari berbagi agar kita semakin memperkaya wawasan dan cara pandang kita.

Salam berbagi, ino, 20.07.2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun