Selain alasan yang berkaitan dengan konteks pandemi, secara global ternyata alasan upacara melepas pergikan orang yang meninggal itu menjadi sunyi karena beberapa efek berikut ini:
1. Efek dari budaya modern yang tidak lagi berakar pada tradisi dan adat istiadat
Kesadaran yang muncul tentang efek dari budaya modern itu hanya karena saya pernah mengalami bagaimana konteks upacara pemakaman di Indonesia umumnya dan secara khusus dalam konteks adat di NTT misalnya.
Saya belum pernah melihat bahwa di Flores upacara pemakaman itu begitu sunyi dan sepi. Hal yang sering terjadi adalah bahwa upacara itu berlangsung beberapa hari sampai dengan upacara pemakaman.
Meskipun demikian, upacara kematian tentu belum juga selesai, ada lagi, malam ketiga, 40 malam, 100 hari, 1 tahun dan lain sebagainya.Â
Belum lagi kalau dalam konteks perayaan kematian orang-orang Maumere misalnya, terasa begitu panjang dengan cerita tentang sumana-sumana sampai dengan sumana pitu, atau malam doa yang ketujuh.
Tradisi dan segala macam upacara kematian seperti itu atau bahkan yang jauh lebih meriah di Toraja dan di beberapa daerah lainnya selalu berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat yang dianut masyarakat.
Kekhasan budaya dalam merayakan kematian itu akhirnya tidak pernah dilakukan hanya beberapa orang, bahkan diyakini bahwa upacara kematian itu merupakan suatu panggilan persaudaraan dan solidaritas.
Tentu hal seperti itu berbeda sekali dengan di Eropa misalnya. Saya tidak pernah melihat bahwa ada ritual adat berhari-hari yang dihadiri ribuan orang.
Hal yang nyata terjadi adalah bahwa ditemukan upacara pemakaman hanya dengan dua atau tiga orang. Alasannya mereka sederhana yakni karena orang yang meninggal (Verstorben) sendiri tidak punya keluarga.
Keadaan tidak punya keluarga tetap saja tidak berlaku di beberapa tempat atau umumnya di Indonesia; kematian selalu saja melibatkan banyak orang.Â