Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Kurang Gizi" Itu Terminologi yang Tidak Merakyat

28 Mei 2018   16:23 Diperbarui: 28 Mei 2018   20:34 2017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theindianexpress.com

Terminologi kurang gizi mengesankan gizi sejenis makanan sehingga terjadi kurang gizi karena kurang memakan gizi. Padahal, gizi ada dalam makanan. Tapi, karena setengah orang tidak memahaminya dengan benar mereka pun menganggap gizi itu sejenis makanan.

"Angka kasus anak berusia di bawah lima tahun atau balita yang mengalami kurang gizi dan stunting atau tubuh pendek masih tinggi di Nusa Tenggara Barat. Penyebabnya antar lain orangtua tak mampu memberi asupan gizi cukup, dan rendahnya pengetahuan orang tua mengenai gizi buruk." Ini lead di Harian "KOMPAS" (26/5-2018) dalam berita "Kesehatan Masyarakat. Kasus Kurang Gizi di Nusa Tenggara Barat Tinggi".

Disebutkan penyebab stunting karena orang tua tidak mampu memberikan asupan gizi yang cukup. Di sini terkesan gizi itu bukan bagian dari makanan sehari-hari. Anak-anak yang stunting itu tidak busung lapar, tapi kurang gizi.

Kesan bahwa gizi itu tidak ada dalam makanan kian kental ketika disebutkan karena orang tua tidak mampu memberikan asupan gizi yang cukup. Orang-orang tua balita yang mengalami stunting bisa membeli makanan, terutama makanan pokok, untuk keluarganya.

Persoalannya adalah apakan makanan yang dimakan sehari-hari merupakan makanan yang mengandung gizi?

Seorang peneliti di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) memberikan contoh tentang pola pikir sebagian warga tentang makanan. Di salah satu daerah di Indonesia masyarakat umumnya memelihara ayam.

Apakah kemudian mereka menjadikan telur ayam sebagai bahan makanan keluarga?

Ternyata tidak. Telur ayam di jual ke pasar. Pulang ke rumah membawa ikan asin untuk bahkan makanan. Yang terjadi justru banyak kasus darah tinggi. Padahal, kalau telur ayam didadar, misalnya, dengan tambahan sayuran bisa jadi bahkan makanan.

Ini gambaran betapa rekayasan sosial tidak dipakai dalam mendidik masyarakat, dalam hal ini terkait dengan makanan.

Kurang gizi kian bergema seiring dengan isu stunting yang belakangan ini sering jadi berita di media massa, media online dan media sosial. Celakanya, pasangan calon gubernur Sumatera Utara (Sumut) Nomor urut 1 Edy Rahmayadi/Musa Rajekshah, malah tidak mengetahui arti stunting (Baca juga: Debat Paslon Cagub/Cawagub Sumut, Abaikan "Brain Drain" dan Nasib Petani).

Bayangkan, seorang letnan jenderal TNI dan cagubsu tidak mengetahui arti stunting apalagi rakyat kebanyakan. Tapi, karena terus-menerus jadi bahan berita, bahkan Presiden Jokowi pun sering menyuarakan stunting dalam berbagai kesempatan sehingga sudah mulai memasyarakat.

Yang jadi persoalan besar adalah penyebab stunting yang disebut kurang gizi. Ini semacam terminologi 'dewa' karena artinya tidak mudah dipahami oleh setengah orang. Terminologi ini benar-benar tidak semerta membawa perhatian ke masalah yang sebenarnya.

Kurang gizi terkesan ada sesuatu yang disebut gizi. Bisa sebagai makanan atau yang lain. Soalnya, disebut-sebut kurang gizi bukan hanya pada masyarakat kelas bawah tapi juga pada kalangan menengah ke atas.

Tambah puyeng, 'kan.

Penjelasan yang sering dengan bahasa akademis berbau 'dewa' akhirnya tidak memasyarakat. Defenisi nutrisi tidak dijabarkan dalam bahasa baku dengan diksi yang mudah dipahami orang banyak.

Rumusan di id.wikipedia, misalnya: Nutrisi atau gizi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan.

Penelitian di bidang nutrisi mempelajari hubungan antara makanan dan minuman terhadap kesehatan dan penyakit, khususnya dalam menentukan diet yang optimal.

Tapi, apa dan bagaimana bentuk nutrisi atau gizi itu? Di mana terdapat nutrisi atau gizi itu? Dst ....

Nah, nutrisi atau gizi adalah zat yang terdapat dalam makanan yaitu: protein, vitamin, mineral, dan lemak. Zat-zat ini dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

Ternyata nutrisi atau gizi terdapat dalam bahan makanan. Nah, apakah kurang makan atau kelaparan bisa disamakan dengan kurang gizi?

Terminologi terkait makanan kian ruwet lagi ketika istilah "4 Sehat 5 Sempurna" dikatakan sudah usang dan diganti dengan makanan gizi seimbang (Baca juga: Makanan Bergizi, Bukan "4 Sehat 5 Sempurna" tapi Makanan dengan "Gizi Seimbang")

Itu artinya ada kaitan gizi dengan kandungan nutrisi, vitamin, dan protein di bahan-bahan makanan, Bisa jadi kualitas bahan makanan yang berkurang seiring dengan penggunaan pestisida yang berlebihan, penggunaan zat-zat kimia, pengaruh iklim dan cuaca, penanganan panen dan pasca panen, pengepakan, penyimpanan sampoai dengan distribusi ke konsumen.

Di tangan konsumen dipengaruhi pula oleh cara-cara pengolahan sampai memasak yang juga bisa mengurangi atau menurunkan kadar nutrisi makanan.

Penelitian di Cina dan Jepang menunjukkan ada penurunan kadar protein padi pada varietas yang diuji di demplot yang dipengaruhi oleh CO2. Protein turun 10 persen, seng turun 8 persen, dan zat besi turun 5 persen. Bukan itu saja. Ternyata kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 juga turun yang berbeda pada varietas yang diuji (Baca juga: 2 Miliar Penduduk Bumi Akan Makan Nasi Tanpa Nutrisi).

Terkait dengan cara pengolah yang berpengaruh terhadap nutrisi pada makanan, Prof Dr Ir Rindit Pambayun, MP, Guru Besar Ilmu Pangan Uniersitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, memberikan contoh cara mencuci beras yang merugikan.  Sambil dicuci beras diaduk-aduk sampai air cuciannya bening. "Itu menghilangkan vitamin, seperti vitamin B, yang ada di kulit air beras," kata Prof Rindit pada acara pemberian materi bagi 20 blogger peserta "Danone Blogger Academy" bersama Kompasiana di Kantor Danone Indonesia, Gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta Selatan (3-4 November 2017).

Prof Rindit benar karena di kulit ari beras itu selain vitamin (B1, B2, B5, dan B9) juga ada protein, seng dan zat besi. Itulah sebabnya Prof Rindit sampai pada kesimpulan tidak perlu mencuci beras sebelum dimasak agar kandungan vitamin dan protein yang ada di beras tidak hilang. "Ya, kita canangkanlah 'Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras'," kata Prof Rindit  (Baca juga: Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras).

Kisruh soal gizi, stunting, dll. yang ada di tataran terminologi akademis terjadi karena tidak membumi. Pesan yang disampaikan sebagai informasi ke masyarakat terkendala karena ada jurang antara pengirim pesan (instansi dan institusi) dan penerima pesan (masyarakat).

Dalam kaitan inilah diharapkan instansi dan institusi terkait lebih memikirkan padanan kata dari sebuah terminologi yang membumi agar masyarakat memahaminya dengan baik sehingga tidak menimbulkan misleading (menyesatkan). *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun