Mohon tunggu...
Iwan Indrawan
Iwan Indrawan Mohon Tunggu... Insinyur - Sebuah ikatan bathin untuk negeri

semua memiliki hak berpendapat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bubarkan DPR, Ganti Sistem

29 November 2021   13:28 Diperbarui: 29 November 2021   13:57 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bismillah,

Kembali ini hanya suara hati, sebab untuk prakteknya tak semudah suara hati ini. Namun suara hati ini timbul karena kondisi yang memaksanya menjadi tumbuh, penentangan akan sistem yang dibuat, diberlakukan dan disikapi saat ini.

Sudah cukup lama kita dengan sistem sekarang, seharus nya sudah ada kembali review untuk setiap jangka waktu tertentu agar dapat dianalisis terutama mengenai kesesuaiannya dengan kondisi kita. Kita tidak bisa semena-mena menerapkan sistem luar yg belum tentu pas dengan kita. Ukuran baju saja berbeda masak semua harus disamakan secara mutlak.

Melihat sistem saat ini dan sudah cukup lama, saya sudah beberapa kali juga membahas tentang ini. DPR yang di-tag sebagai Dewan Perwakilan Rakyat saat ini seperti malah berhadapan dengan rakyat, bertempur melawan rakyat, menghadapi rakyat, ya pokok nya lebih pada berseberangan dengan rakyat. Padahal notabene rakyat lah yg menggaji nya, rakyat yang memilih nya.

Mungkin ada sebagian yg menentang ini sebab menunjukan dia sudah cukup berkontribusi dan bla bla bla. Tidak dipungkiri itu ada namun kita berbicara dengan sistem yang membuat majority tidak seperti itu.

Sistem pemilihan entah langsung atau bagaimanapun dengan kontestan partai-partai, akan membuahkan sistem yg menuntut seseorang bermodal untuk terpilih, lalu setelah terpilih minimal balikin modal. Itu sangat wajar menurut ekonomi sederhana. Siapa sih ada yg mau rugi? 

Masalahnya sekarang yg menjadi sasaran adalah "untuk Menjadi Wakil Rakyat" tentu yang diharapkan adalah keterwakilannya rakyat, tersampaikan nya aspirasi rakyat, apa keluhan rakyat, apa harapan rakyat, ada kejelasan mau seperti apa mereka bekerja untuk rakyat.

Sementara yang berlaku sekarang sebaliknya. DPR seolah-olah menjadi lapangan kerja (memang seperti itu), bukan lapangan pengabdian. Posisi sebagai anggota dewan menjadi sangat terhormat, yang sebetulnya jika turun ke masyarakat juga yg diharapkan masyarakat adalah kontribusi nya, ya seperti mau nymbang berapa buat bikin jalan, wc umum, dll. Ironis sekali sebab mereka sesungguh nya meminta hak mereka dari uang mereka juga, bahkan orang itu dibayar sama mereka, kok seperti mengemis. Maaf ini hanya fakta yg tidak bisa kita pungkiri.

DPR kemudian menjadi cita-cita atau sasaran setelah lulus atau memiliki modal untuk ke sana, bukan lagi menjadi tempat berkumpulnya pengabdi rakyat yg digaji rakyat. 

Posisi terhormat mungkin tetap harus ada agar posisi dewan menjadi elegant namun tetap sebagai pengayom rakyat. Bukan sebaliknya mencari jalan untuk balikin modal melalui rakyat, padahal mereka yg bayar, dan ironis nya sangat dihormati sementara prakteknya dimanfaatkan.

Kita sudah memiliki cukup bahkan banyak sarjana, dulu mungkin tingkat SMA yg banyak menganggur, sekarang tingkat sarjana banyak yang nganggur dan kerja jauh dari ekspektasi nya. 

Lihat saja tukang ojek (coba pikir beberapa tahun lalu, profesi ini maaf hanya untuk yg sangat terpaksa karena sulit kerja) namun sekarang walaupun dengan gaya online atau apa tetap saja sama tukang ojek, nilai masyarakatnya saja yg digeser oleh perusahaan provider nya agar laku.

 Namun ironis nya mereka yg menjadi pekerja nya bahkan semakin ramai adalah orang-orang berpendidikan, bahkan bukan tingkat biasa. Seharusnya ini menjadi PR mereka para anggota dewan yang mewakili rakyat, lihat kondisi ekonomi, tingkat pengangguran, serta real nya yang ada di masyarakat, bukan mengandalkan survey lembaga tertentu yg dibayar agar bagus hasilnya dan ditontonkan kepada rakyat, padahal rakyat tahu yang mereka rasakan.

Jika sekarang di-clain ekonomi bagus bla bla bla, sesungguhnya rakyat berjuang untuk hidup mereka setiap hari agar besok masih makan, ironis memang, cuma hal ini yg sekarang terjadi. 

Usulan yg sering saya lontarkan, bubarkan DPR ganti dengan DPR namun sistem nya yg diubah. Tak perlu melalui partai-partai lagi, tapi dengan recruitment. 

Sarjana-sarjana di bidangnya bisa lebih cepat menerima target dari Dewan yg akan dicapai untuk rakyat. Adaptasi atau belajar dari artis atau tukang sayur yg kaya yg jadi anggota dewan akan berbeda dengan sarjana yg memang mengerti bidangnya untuk ini. 

Reward akan memacu mereka bekerja lebih mutahir, bukan ujungnya mencari proyek untuk menghabiskan anggaran (bahasa yg sampai saat ini saya tidak mengerti). Gaji anggota dewan saat ini bisa dikalkulasi sudah berapa kali lipat gaji lulusan sarjana, ini saja akan memotivasi mereka untuk meraih posisi. 

Selanjutnya ditetapkan saja standard seperti apa, IPK kah? prestasi non akademis dan lain-lain untuk menyeleksi mereka. Posisi terhormat anggota dewan akan menjadi benar-benar seperti itu bukan kamuflase semata. 

Lebih lanjut pelajar akan giat berprestasi dan akademik yg bagus untuk menjadi anggota dewan.

Ujung itu semua, penyeleksi harus dari sebuah lembaga independent sehingga kembali korupsi, nepotisme dan sebagainya harus menjadi telaah untuk dihindari sebab jika tidak seperti itu, kembali tidak akan berguna atau sesuai harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun