Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bangsa Yang Lahir dari Krisis

6 Juni 2020   09:29 Diperbarui: 3 Juli 2020   09:41 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masalahnya, koreksi Orde Lama dilakukan oleh mahasiswa, bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Akan tetapi, ketika krisis ekonomi Orde Baru – yang menjadi pilar utama selama 30 tahun lebih – siapa yang bergerak?

Jatuhnya nilai mata uang rupiah, tidak jelas dilakukan oleh siapa. Menurut banyak pengamat, penyebabnya adalah faktor-faktor internal dan eksternal. Tetapi yang tidak pernah ditunjuk adalah siapa yang menggerogoti faktor-faktor internal dan eksternal itu. Logikanya, ekonomi pasti ada pelakunya, yaitu manusia. Adalah mustahil kalau uang dollar memakan rupiah, tanpa ada yang memiliki dollar dalam jumlah banyak.

Bisa jadi yang dialami Indonesia saat itu adalah suatu bentuk new collonialism. Intervensi modal asing, tenaga asing, barang-barang impor (termasuk mobil Timor), stasiun televisi, dan benda-benda budaya asing lainnya, telah menyebabkan kita tidak percaya kepada uang sendiri, pemerintah sendiri, dan bank-bank sendiri. Segala asesoris yang kita miliki begitu mudah untuk tidak kita percayai. Tingkat ketergantungan kita kepada bangsa asing (baca International Monetary Fund dan sejenisnya) begitu tinggi. Bahkan ketika Thailand, dan Malaysia, sudah mengurangi gaji pejabatnya, kita tetap tidak melakukan apa-apa, dengan alasan gaji Pegawai Negeri Sipil sudah rendah. Akhirnya, kita menjadi bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa.

Sebagai catatan, Gaji Pokok Presiden sejak 7 Januari 1993 adalah Rp 15.000.000,-, sedang Wakil Presiden Rp. 10.000.000,-. Gaji Pokok Menteri = Jaksa Agung = Panglima Angkatan Bersenjata = Gubernur Rp. 2.500.000,-, sama halnya dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan Ketua Mahkamah Agung (Kompas, 20 Desember 1997).

Jumlah yang sedikit dibandingkan dengan sekarang, setelah seperempat abad. Saya belum mengecek datanya.

Memang adalah irrasional kalau kita tetap bertahan dengan prinsip nasionalisme. Ketika semua orang memegang dollar, kita tetap ngotot mempertahankan rupiah.  Tetapi perilaku irrasional itu justru kita dapatkan, akibat tekanan kuat dari pihak asing yang telah mendikte medan kesadaran kita. 

Masyarakat, akhirnya, bergitu mudah terombang-ambing oleh sesuatu yang ditiupkan dari luar. Contoh yang begitu nyata adalah dunia anak-anak yang begitu bersedih ketika Lady Di meninggal dunia; begitu gembira ketika Mickey, Guffy dan Pluto hadir di Lippo Karawaci; dan langsung merengek ketika tokoh dan mainan baru lagi trend karena keunggulan promosi. Medan kesadaran kita begitu terhegemoni dan tercekik oleh sesuatu yang datang dari luar kita.

Adalah naif kalau terpikirkan, semua yang tergambarkan di atas adalah proses alamiah dan akan melewati seleksi alam menurut teori evolusi Charles Darwin. Tak semudah itu. Alam memang melakukan tugasnya dan bereaksi, ketika keseimbangannya terganggu. Namun alam adalah sesuatu yang pasif dalam masyarakat moderen. Tingkat keseimbangannya sangat dipengaruhi oleh keterlibatan manusia. Sampai-sampai ada ilmuwan yang bisa mengubah kehendak alam, ketika proses kloning berhasil. Kloning menjadi bukti bahwa kehendak alam masih bisa disimpangkan. Akal yang diberikan kepada manusia, begitu jauh menembus batas-batas konvensional yang selama ini ada. Penemuan demi penemuan, eksperimen demi eksperimen, telah melahirkan sesuatu yang “baru”, sekalipun berdasarkan sesuatu yang “lama”.

***

Dengan pertimbangan itu, tidaklah salah kalau kita mengoreksi ulang konvensi-konvensi yang selama ini kita anut untuk mengubah keadaan. Prof Dr Anwar Nasution menyebutnya dengan “reformasi ekonomi” ketika yang dia sorot adalah krisis ekonomi beberapa bulan jelang tahun 1997 berakhir. Teori ekonomi yang cenderung lebih eksak ketimbang politik dan sejarah, bisa disusun ulang. Sayangnya, antara satu pakar dengan pakar lain, tidak pernah duduk satu meja, berlama-lama, untuk merumuskan suatu teori baru. Yang terlihat hanyalah klik-klik ekonomi, atau sistem kartel seperti banyak disinyalir Faisal Basri, sehingga masyarakat awam menjadi kehilangan pedoman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun