Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bangsa Yang Lahir dari Krisis

6 Juni 2020   09:29 Diperbarui: 3 Juli 2020   09:41 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berpulangnya Arif Budiman (Soe Hok Djin) sungguh menggetarkan saya. Tentu ada alasannya.

Pertama, saya (merasa) mengenalnya dari catatan harian Soe Hok Gie, senior saya di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

Kedua, skripsi yang saya tulis “Koreksi Demi Koreksi: Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Malari Hingga Penolakan Normalisasi Kehidupan Kampus – Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974-1980)” juga berisi sejumlah aktivisme yang dilakukan Arif Budiman dan kawan-kawan.

Ketiga, sejak pertama masuk Jakarta pada tahun 1991, saya berjualan sate Padang di Petak IX, Pancoran, Glodok, hingga pindah-pindah kontrakan (Jalan Kunir, Balokan – belakang Gedung BNI di Kota Tua dekat Stasiun Kota, hingga Mangga Besar XIII).

Keempat, sejak berkeluarga tahun 2002, saya tinggal di Krukut, Tamansari, Jakarta Barat, berseberangan dengan Kebun Jeruk, tempat tinggal keluarga besar Arif Budiman.

Singkatnya, baik secara intelektual, akademis, aktivisme, hingga lingkungan tempat tinggal, saya merasa dekat dengan lingkungan Arif Budiman. Ketika orang lain hanya menganalisis soal Pecinan, saya bertetangga dengan kawan-kawan Tionghoa, Arab, Batak, Jawa, Sunda, Banten, dan sedikit sekali dengan orang-orang Minang. Saya seolah-olah “tercampakan” dengan orang-orang Minang, terkecuali keluarga besar saya yang juga jarang bersua. Jadi, saya minimal bisa berpikir dan merasakan bagaimana menjadi “minoritas” di belantara Jakarta yang luas.

Karena itu, saya kesulitan untuk menulis secara “personal” tentang Arif Budiman. Untunglah, saya menemukan tulisan tangan di buku harian saya bertanggal 24 Desember 1997 dengan judul “Lahir Dari Krisis: Refleksi Akhir Tahun 1997”. Berdasarkan kerangka itu, saya mencoba menerbangkan pikiran-pikiran itu.

Mengapa catatan itu penting? 

Terdapat kutipan atas pendapat Arif Budiman dalam tulisan itu. Baik untuk kepentingan krisis 1997 ataupun masalah yang melanda kini terkait COVID 19, percikan-percikan pemikiran di dalamnya masih relevan, walau berbeda kasus.

***

Baiklah, saya mulai dengan mengutip pendapat Prof Dr Dimyati Hartono, Man of the Year 1997 versi American Biographical Institute, United State of America. Orang yang berperawakan besar, tidak tampak seperti ilmuwan, melainkan lebih seperti seorang jenderal yang berotor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun