Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bangsa Yang Lahir dari Krisis

6 Juni 2020   09:29 Diperbarui: 3 Juli 2020   09:41 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah pun waktu itu belum menyentuh akar permasalahan, yakni bagaimana membebaskan rakyat dari himpitan beban hidup yang begitu berat. Seperti lintah yang kekenyangan sehabis menghisap darah, pemerintah terkesan lamban bergerak. Jenderal Soerjadi Soedirdja sendiri menyebutnya sebagai sikap limbung/bingung. Elite birokrasi kita seperti kehilangan inisiatif untuk bertindak. Ketika tidak ada inisiatif di tingkat elite, jajaran bawahan akan makin tertidur. Sebab petunjuk yang diminta tidak juga turun-turun.

Akhirnya, Presiden Soeharto waktu itu sebagai pemegang kendali, terlihat seakan single fighter mempertahankan kewibawaan pemerintah dengan langkah-langkah taktisnya. Lihat saja penyelesaian kasus Jamsostek, pembatalan rencana ke Malaysia, pemberian 'gocik' kepada masyarakat Irian Jaya, pemberhentian Direktur Bank Indonesia, sampai langkah-langkah “hak prerogatif” lainnya.

Birokrasi yang kehilangan inisiatif berakibat pada munculnya upaya pengentasan situasi secara dini. Akibat lain adalah tingginya tingkat ketergantungan kepada Presiden. Wakil Presiden pun kehilangan pamor. Presiden, sekalipun jika dikehendaki oleh beliau, perlahan-lahan muncul sebagai sosok yang di-kultus-individu-kan. Hal ini bisa dilihat dari begitu tingginya tingkat rumors – dan kepercayaan masyarakat terhadap rumors – ketika Presiden tengah berlibur (istirahat). Naik turunnya harga/nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, sangat berkorelasi dengan rumors tentang kesehatan Presiden Soeharto. Presiden menjadi taruhan dari segala-galanya. Ia adalah kartu truf terakhir.

Jika merujuk kepada konsep kekuasaan Jawa Kuno, keadaan semacam itu dinamakan sabdo pandito ratu. Jajaran birokrasi, dan rakyat, tinggal menunggu sabda untuk bisa berjalan. Pilihan-pilihan rasional yang tersedia, sekalipun itu sesaat, tidak berani untuk dijalankan, karena khawatir bertentangan dengan sabda yang ditunggu. Krisis pun tidak bisa dilokalisir, malah merambah bidang-bidang lain. Apalagi kalau ada pihak ketiga yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan pribadi, demi iseng sampai serius, makin runyamlah keadaan.

***

Masyarakat kehilangan tempat untuk bertanya. Sebab, kaum intelektual sudah begitu lama terpinggirkan. Padahal dari kaum intelektual inilah tersembunyi pikiran-pikiran kreatif yang berdimensi luas dan holistis. Yang jadi masalah, kaum intelektual yang bisa diharapkan itu adalah kaum intelektual yang independen. Kaum intelektual yang tidak terkooptasi dan tidak terkontaminasi elite kekuasaan dan nafsu untuk berkuasa. Suatu jenis kaum intelektual yang semakin langka untuk ditemukan. Kuatnya jerat-jerat ideologi dan politik demi kepentingan kelompok tengah melanda kaum intelektual Orde Baru. Kalaupun ada yang memenuhi kriteria itu, mereka sudah berada di luar negeri, atau penjara.

Imbas dari kelangkaan kaum intelektual jenis ini, juga bermula dari hulunya. Yaitu tempat menggodok/mendidik mereka. Dalam hal ini, kampus. Kampus seakan kehilangan gairah intelektual. Pendidikan massal dan komersial yang ditempuh dalam pendidikan Orde Baru. Kurikulum yang dipakai menjauhkan peserta didik untuk mengenal horison yang lebih jauh. Kurikulum yang sekadar teori-teori kosong dari masing-masing disiplin ilmu. Medali Avicenna yang diperoleh Presiden Soeharto untuk bidang pendidikan dasar, lebih didasarkan kepada pendidikan kuantitatif – dengan pertumbuhan peserta didik, sekolah-sekolah dan guru-guru – ketimbang kualitas.

Peningkatan jumlah penduduk yang tidak lagi buta huruf juga bukan jaminan, ketika kesadaran untuk membaca belum muncul. Membaca, dalam artian luas, termasuk membaca lingkungan, alam pikiran, dan sejumlah literatur, mulai cara memasak, bisnis, sampai filsafat. Tidak munculnya kesadaran membaca ini juga akibat dari tingginya harga buku, langkanya perpustakaan berkualitas, dan biaya yang rekatif tidak terjangkau untuk membeli selembar koran atau majalah. 

Kenaikan harga kertas – yang sepengetahuan penulis dua kali dalam lima tahun terakhir menjelang Presiden Soeharto memutuskan berhenti – menimbulkan kepanikan di kalangan pengelola pers. Ketidak-tersediaan informasi yang memadai, juga menjadi faktor bagi tidak terkendali atau tidak terkontrolnya rumors di tengah masyarakat.

***

Dari keseluruhan pandangan di atas, muncul keyakinan kuat di benak penulis. Bahwa krisis bisa diatasi dengan memberikan kebebasan kepada birokrasi, kaum intelektual, kaum terdidik, dan masyarakat untuk berpikir alternatif/kreatif. Caranya adalah dengan meningkatkan jumlah buku, surat kabar, dan anggaran pendidikan pada umumnya. Kesempatan untuk berdialog secara lugas dan transparan juga diperlukan. Suntikan dana untuk usaha tertentu, hanya bersifat pemecahan jangka pendek. Sedang yang diperlukan adalah pemecahan jangka panjang yang sesuai dengan karakter bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun