Mohon tunggu...
Indra Darmawan
Indra Darmawan Mohon Tunggu... Administrasi - Reguler Citizen

Ciptaan Tuhan | Greedy for Knowledge | Peaceful Life Seeker | Author of My Life's Story

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keterlambatan dan Kegagapan Pemerintah Hadapi Covid-19

16 Maret 2020   00:42 Diperbarui: 16 Maret 2020   01:51 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DARI EPIDEMI MENJADI PANDEMI
Corona merupakan virus yang berasal dari kelelawar. Selanjutnya ditransmisikan melalui trenggiling dan sampailah kepada manusia. Rantai tularnya sama seperti SARS. Hanya saja SARS ditransmisikan ke manusia melalui musang. 

Tempat permulaan penularannya juga sama, yaitu di pasar hewan. Bukan sembarang pasar hewan. Tetapi pasar hewan-hewan yang tak lazim untuk dikonsumsi. Seperti daging musang, buaya, dan aneka daging-daging lainnya. Di Tiongkok sendiri hanya 15% yang mengonsumsi daging-daging yang tak umum ini. 15% itu semuanya orang kaya. 

Pemerintah Tiongkok dengan mewabahnya Covid-19 ini sebetulnya tidak belajar dari pengalaman SARS. Setelah kasus SARS, pasar hewan basah ditutup. Lalu mungkin karena birokrat dan birokrasinya yang korup tiba-tiba pasar basah ini muncul lagi. Dan menimbulkan virus baru, yakni Covid-19 yang ditularkan melalui trenggiling. 

Apabila pemerintah Tiongkok kedepan tidak benar-benar serius menutup secara permanen pasar hewan tersebut, tinggal nanti hewan apa yang menjadi mediator baru untuk virus-virus kedepan. Mungkin saja Majlis Binatang Langka sudah sedang melakukan audisi siapa hewan yang akan membawa misi itu di masa depan. 

Covid-19 yang sudah mewabah di Wuhan menjadi epidemi nasional Tiongkok. Memaksa negara tersebut melakukan penutupan (lockdown) pada kota Wuhan, provinsi Hubei. Hal ini dilakukan sebagai langkah kontrol dan isolasi (containtment) agar virus tersebut tidak menyebar. Tidak tanggung-tanggung rumah sakit khusus untuk pasien Covid-19 dibangun super cepat dalam tempo 10 hari. 

Sejurus dengan gerak super kilat virus yang menginfeksi dari puluhan, menuju ratusan, hingga ribuan di Wuhan. Covid-19 pun ingin melancong (travelling) ke luar Tiongkok. 

Lagi-lagi memaksa Pak Tedros selaku Dirjen WHO untuk meningkatkan status Covid-19 dari kedaruratan kesehatan publik internasional (a public health emergency of international concern) menjadi pandemi. Pandemi berarti penyebarannya sudah secara global. Dan di sisi lain ada kucuran dana untuk memitigasi dan serangkaian langkah (penutupan sekolah, social distancing, travel ban, dll) sangat amat dianjurkan untuk dilakukan. 

JEMAWA PEMERINTAH RI TERHADAP COVID-19
A. TIDAK MENYIAGAKAN DIRI, JUSTRU MALAH MENDASARKAN PADA INFORMASI YANG BELUM TENTU BENAR
Sekilas mengenai subjudul. Jemawa merupakan kata baku daripada 'jumawa.' Jemawa berarti angkuh, sombong, congkak, arogan, besar kepala, dan seterusnya. 

Pemerintah melalui para birokrat-birokratnya yang bergaji besar-besar (baik dari tingkat menteri sampai anggota KSP-nya) mengelu-elukan imunitas orang Indonesia yang belum terpapar atau setidaknya belum ada yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Salah satu dasar argumen mereka adalah posisi negara Indonesia yang berada di katulistiwa, atau negara tropis. Negara tropis membuat virus Covid-19 sulit untuk berkembang. 

Saya tidak ingin menyebut informasi itu sebagai hoaks. Karena ada dasar penelitannya. Tapi di saat yang bersamaan, pemerintah harus berpikir kritis bahwa informasi itu merupakan sebuah penelitian. Bukan merupakan fakta empiris. Memangnya para birokrat itu gak pada sekolah ya? 

Yang namanya penelitian itu memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu ada pada ruang lingkupnya, jumlah sampel-nya, metodologinya, dan seterusnya. Jadi tidak heran, sebuah hasil riset membutuhkan riset lanjutan. Sehingga tidak patut pejabat pemerintah mendasari ini sebagai patokan dan pijakan kebijakannya. 

B. CENDERUNG TIDAK TRANSPARAN PADA MULANYA, DAN AKHIRNYA MEMAKAN LUDAH SENDIRI
Dalam fase awal, pemerintah Indonesia sibuk mengkonter pihak-pihak yang menyatakan Indonesia belum mampu mendeteksi Covid-19. Sibuk melakukan penyangkalan bahwa belum ada yang positif. Padahal pada fase itu sebetulnya pemerintah sudah melakukan screening pada orang-orang yang diduga terpapar Covid-19 dengan sebutan ODP (Orang Dalam Pengawasan). 

Cuma mungkin karena tes & uji laboratoriumnya lama (karena dilakukan di pusat), Menkes Terawan sibuk menyangkal rilis pres dari Anies Baswedan bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia. Walaupun sebetulnya hanya perbedaan konteks. Anies Baswedan tidak menyebut ada yang positif, sementara informasi apakah positif atau tidak berada di kewenangan di pusat. 

Jadinya Om Terawan mengatakan Covid-19 belum masuk ke Indonesia, dengan pengertian belum ada yang terkonfirmasi positif Covid-19. Walau sebetulnya tindakan pengawasan dan pemantauan sudah dilakukan dinas-dinas kesehatan. Dilanjutkan nyanyian Om Terawan dengan mengatakan bahwa difteria saja dilawan, apalagi Covid-19. 

Blunder-blunder Om Terawan membuat Pak Menkes itu dibekap untuk tidak lagi nyerocos terkait Covid-19. Ditunjuklah jubir khusus untuk masalah Covid-19, yang kata Kang Fadjroel disebut sebagai information leadership. Publik sudah cerdas ada disinformasi yang mengarah pada kekecauan disebabkan pernyataan-pernyataan Menkes Terawan sebelumnya. 

Masa pernyataan Dirjen lebih valid daripada Menteri? Itulah sekarang yang terjadi. Namanya chaotic leadership yang dilakukan oleh Jokowi. Karena tidak tepat untuk mereshuffle Pak Menkes Terawan di saat-saat seperti ini. Ya, lebih baik menunjuk jubir. 

C. TIDAK ADA LANGKAH STRATEGIS & TAKTIS, TAPI MALAH SIBUK MENCARI & MEMBUAT ATURAN
Saya secara pribadi sangat menyoroti penanganan masalah Covid-19. Covid-19 merupakan barang nyata, barang material, bukan barang yang tak kasat mata. Covid-19 itu ada secara fisik. Bisa dites di lab. 

Covid-19 bukan sebuah gagasan radikal dan intoleran. Radikalisme diperangi dengan propaganda-propaganda. Pembentukan BPIP, dan imbauan-imbauan serta ajakan-ajakan untuk memerangi radikalisme. Sehingga di lingkaran istana jubir-jubir diperbanyak untuk melawan radikalisme dan memperkuat posisi pemerintah dalam menyampaikan informasi ke publik. Walhasil jubir-jubir diperbanyak dalam suatu satuan-satuan seperti KSP, BPIP, staf milenial presiden, dst. 

Covid-19 tidak membutuhkan hoaks untuk mentransimisikan virusnya. Ia tidak butuh demo berjilid-jilid untuk mewabahkan dan menjangkiti manusia. Jadi, please tolong ditangkal dengan cara-cara yang tepat. Bukan dengan argumen konter yang mendukung kebijakan pemerintah yang jelas-jelas keliru. 

Pemerintah saat ditanya bagaimana penanganan Covid-19 justri menjawab dengan peraturan-peraturan yang sudah dibuat. Menyebutkan UU sampai Inpres penanganannya. Yang dibutuhkan masyarakan adalah tindakannya. Bukan dijelaskan dan dieja-wantahkan,"Ini lo kami sudah buat peraturannya." Kalau sudah dibuat, tapi tidak dilakukan. Ya, zonk namanya. 

Simpang siur dan kegagapan pemerintah dalam penanganan Covid-19 terlihat dari koordinasi dengan pemerintah daerah. Tidak ada langkah yang seirama antara pemerintah pusat dan derah dalam melakukan penanganan Covid-19.

Ada pemda yang menimbun masker sebagai bentuk antisipasi. Pemprov DKI dan Jabar sudah mendahului membuat protokol pendahuluan dalam menangani Covid-19. Lalu, pemerintah pusat sibuk membuat aturan baru lagi untuk membuat gugus satuan tugas. 

Sementara ada pemda-pemda yang lain yang masih santai, belum melakukan tindakan apa-apa. Dikarenakan masih minimnya informasi dan instruksi dari pusat. Serta minimnya kemampuan untuk mengatasi. Salah satu yang tercermin yaitu ada petugas kesehatan yang menggunakan jas hujan sebagai pengganti baju pelindung diri yang terstandardisasi. 

Sementara di bawah sudah tak terkendali. Harga-harga beberapa barang seperti hand sanitizer, masker, jahe, dan sarung tangan sudah meroket dan cenderung langka.  Komoditas yang mengandalkan impor dari Tiongkok sudah mulai hilang dari pasaran. Gula sudah jarang. Tidak menutup kemungkinan sembako kedepan akan sulit jika tidak ada tindakan pemerintah yang betul-betul konkret dan tepat sasaran. 

Apakah kebijakan penghapusan PPh berefek? Kalau ingin dibahas, silakan komentar di bawah.  

D. PRESIDEN HANYA MENGIMBAU
Per hari ini 15 Maret 2020, Mas Jokowi sudah mengimbau agar masyarakan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Emang gak telat menghimbau sekarang? Dari kemarin kemana aja? Sibuk mikirin kebijakan tidak mempublikasi pasien Covid-19 ya, karena takut pasien depresi dan sesuai UU.

Inilah lembeknya pemerintah pusat. Tidak ada kejelasan dan ketegasan. Contohlah Pemda DKI yang sudah jelas-jelas dimulai dari dengan clamp down atau melakukan penutupan pada tempat-tempat vital. Sekuens daripada langkah ini perlu dicontoh oleh para pemimpin-pemimpin daerah lain. 

Karena jika hanya meliburkan sekolah dan pegawai, tanpa menutup tempat-tempat pariwisara atau perbelanjaan, akan membuat siswa/i dan para pekerja justru mendatangi tempat-tempat wisata. 

Anies kali ini melakukan kebijakan yang alurnya sudah benar. Yaitu menyetop izin-izin yang berpotensi menimbulkan keramaian. Lalu menutup tempat-tempat publik, dilanjutkan dengan meliburkan sekolah-sekolah. Alur kebijakan Anies sebetulnya bukan hal baru karena sudah diinstruksikan oleh WHO dalam penanganan pandemi dan sudah pula dipraktikkan oleh negara-negara lain. 

Inilah perbedaan kualitas pemda dan pemerintah pusat. Sekelas pemda saja sudah membuat kebijakan yang sifatnya permanen, yaitu instruksi untuk meliburkan sekolah. Instruksi untuk para PNS untuk bekerja di rumah. Menutup gelaran acara besar dan tempat-tempat publik yang memicu keramaian. 

Sedangkan Mas Jokowi hanya membuat kebijakan (yang tidak bijak) hanya dengan MENGIMBAU. Come on, you are the president! Use your power to tackle Covid-19. 

Mas Jokowi tidak menginstruksikan sekolah-sekolah untuk libur. Yang artinya meliburkan sekolah karena sifatnya imbauan menjadi sifatnya sunnah boleh dilakukan, boleh juga untuk tidak diindahkan. Juga tidak menutup kawasan-kawan pariwisata, atau minimal kawasan-kawasan yang menjadi titik berkumpulnya banyak orang. 

Dari sini dapat disimpulkan tidak ada niat serius dari pemerintah pusat untuk minimal mengurangi penyebaran virus Covid-19. Iya, saya tahu kalau sekolah diliburkan, tempat pariwisata ditutup, dan sebagainya, akan membuat perputaran ekonomi menjadi lumpuh.

Tapi apa iya Pemda DKI tidak melakukan kalkulasi bijak saat melakukan kebijakan-kebijakan: penutupan tempat-tempat umum, penguranan izin berkumpul, penutupan sekolah, pengurangan operasi dan jam operasional transportasi publik, dst. Apa iya Pemda DKI sebelumnya tidak melakukan kalkulasi atas ini? Apa iya Pemda DKI tidak memikirkan langkah-langkah saat dan setelah melakukan kebijakan itu?

Apa iya Mas Jokowi terlalu takut kalau ekonomi nyungsep sehingga hanya melakukan imbauan saja. Kalau yang ditakutkan nyungsep, tapi tidak khawatir jika warganya akan banyak yang terinfeksi. Mulai dari menutup-nutupi informasi Covid-19, sampai rilis pres harian yang menyebutkan pasien positif Covid-19 semakin bertambah secara eksponensial. 

Apa iya harus diserahkan ke saya bagaimana kebijakan alternatifnya bila sekolah-sekolah diliburkan, tempat-tempat publik ditutup, dan seterusnya. Saya bukan PNS, tidak mendapat gaji dari pemerintah. Apa iya saya harus memikirkan itu? Bukankah Antum itu presidennya, Mas Jok?

Tolong dong bikin kebijakan yang fantastis. Contohnya membuat harga masker & handsanitizer gratis. Di bawah pasti tidak akan ada yang memaikan harga. Lha wong gratis. 

Per saat ini saya menerima informasi bahwa komunitas mahasiswa FKUI membutuhkan relawan untuk membuat handsanitizer yang nantinya akan dibagikan ke masyarakat. Model-model seperti ini bisa dipakai pemerintah untuk, misalnya, mempekerjakan masyarakat kelas bawah yang sangat terdampak untuk dipadat-karyakan untuk membuat handsanitizer atau membuat masker dan seterusnya. 

Sekali lagi, yang saya sebutkan di atas hanya sekadar contoh yang melintas sesaat saja. Jika saja dikarenakan penutupan lockdown ekonomi masyarakat terdampak. Tentu yang saya sampaikan belum tentu mungkin untuk diimplementasikan (feasible). Namun poinnya adalah ada alternatif-alternatif yang bisa dipikirkan oleh pemerintah (yang punya duit banyak itu).     

PEMDA YANG  LEBIH PROAKTIF DARIPADA PUSAT
Mohon maaf, saya sudah capek nulis. Diteruskan bila banyak yang komentar di bawah ya! Semoga kita aman dari Covid-19. Selamat malam! 

ALUR PENANGANAN & CONTOH LANGKAH TAKTIS VIETNAM
Mohon maaf, saya sudah capek nulis. Diteruskan bila banyak yang komentar di bawah ya! Semoga kita aman dari Covid-19. Selamat malam!

HARAPAN KEDEPAN, SEBELUM MENJADI KATASTROFI
Mohon maaf, saya sudah capek nulis. Diteruskan bila banyak yang komentar di bawah ya! Semoga kita aman dari Covid-19. Selamat malam!

Salam jumpa kembali. Tabik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun