"Biar sajalah orang dia mau senang-senang dengan wajahnya di nametag. Masalahnya nametag ini kan bertahun-tahun akan kita pakai. Nggak tahu kapan diganti lagi. Jadi foto yang terpampang ya yang harus benar-benar kita sukai," ucap bu Rani bijak.
Teman-teman terdiam dan senyum-senyum. Lupa kalau bu Rani yang sudah agak sepuh, juga melakukan sedikit editing untuk foto nametagnya.
Obrolan kembali mereda. Masing-masing kembali ke tempat duduknya untuk bekerja. Nanda melewati mejaku sambil membawakanku sebungkus peyek.
"Nih, Mbak Dita belum makan peyek, kan? Serius amat sih, lagi kerja apa?" Nanda melirik layar laptopku.
"Bahan rapat untuk kegiatan minggu depan," aku menunjukkan print out berkas yang sudah kubuat dengan banyak coretan tinta merah dan kalimat-kalimat koreksian.
Mata Nanda membelalak melihat banyaknya coretan.
"Koreksian Pak Bos?" tanyanya.
"Bukan," gelengku sambil menyebutkan nama teman baru.
Rona wajah Nanda langsung berubah. Ia memanggil teman-teman seruangan kami, yang memang semuanya perempuan, untuk sama-sama melihat berkas print out yang penuh coretan.
Gibah yang sebelumnya terhenti kembali dimulai, dengan spot lokasi pindah ke sekitaran mejaku.
"Cerdas boleh, tapi attitude nol," geram Nanda. Padahal bukan dia yang ketimpa beban memperbaiki draft, tapi aku. Dan aku diam saja sejak tadi.
"Duh, duh, duh ... sangat terlihat sok kuasa melebihi pak Bos," Â ucap Venny.