"Apa kau tahu jalan keluarnya?"
Pria itu berdiri tepat di belakang. Pasrah.
Sudut bibir Kusuma terangkat. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, dia berkata, "Aku mengenal betul rimba ini. Jika kamu ragu, lebih baik lupakan."
"Tunggu, Nyai!"
"Kusuma. Cukup panggil namaku saja. Bisakah?"
Senyum manis gadis itu, mengawali kebersamaan mereka. Jejak-jejak yang tersamar dedaunan kering, tampak sejajar dan seirama. Putra sengaja mengimbangi langkah gadis itu. Dia tak ingin kehilangan peta.
Gelap. Senyap. Burung gagak dan burung hantu saling merayu di antara dahan. Derik serangga menjadi nyanyian yang tak terkalahkan. Semak belukar, mendayu bersama angin malam. Nuansa mencekam yang tak pernah terbayang Putra.
Kampung tempat tinggalnya sunyi di kala malam menjelang. Namun, masih terlihat cahaya benderang dari lampu jalan dan teras rumah penduduk. Kadang kala, terlihat beberapa orang mengobrol di warung kopi, dekat masjid. Ada pula yang sekadar berkeliling, ronda.
Kini, dia berjalan layaknya orang buta yang membutuhkan teman. Mata untuk matanya.
"Apa yang membuatmu datang ke sini? Kamu bukan pertapa."
"Aku hendak mengembalikan mustika ayahku." Alibi palsu yang sekali lagi diutarakan. Putra telah melihat langsung sosok yang lain dari manusia. Cukuplah sudah bukti yang dia punya.