**
"Nisa, sudah bangun saying." Sapaku pada Nisa yang baru bangun dari tempat tidur.
"Iya, bunda. Mana ayah Nisa?" Tanya Nisa sambil celingukan melihat kanan kiri berharap ayahnya akan muncul. Kadang aku iri melihat rasa sayang nisa pada suamiku. Tapi ini memang salahku.
Tiap pagi pasti suamiku membangunkan Nisa dengan cara halus dan menggendongnya menuju kamar mandi. Sementara aku tak pernah melakukanya. Jika suamiku tak ada dan Nisa sulit dibangunkan maka kuguyur dia dengan segayung air atau kuseret kekamar mandi dengan kasar.
"Ayah berangkat sebelum subuh sebab ayah harus keluar kota." Jawabku sambil mengusap kepala Nisa. Nisa tertunduk. Raut wajahnya berubah. Ia nampak kecewa mendengar penjelasanku.
"Oh iya, apa yang Nisa bawa?" Tanyaku seraya memandang sebuah amplop yang ada ditangan kanan  Nisa.
"Undangan untuk ayah. Lusa Nisa akan lomba qiro'ah al qur'an di kabupaten," jawab Nisa.
"Ayahkan pulangnya minggu depan jadi biar bunda saja yang menghadiri." Jawabku dengan lembut.
"Semalam ayah sudah janji pada Nisa kalau mau pulang pas Nisa lomba. Lagi pula bunda- kan sibuk mengurus dek Fira", jawab Nisa sambil berlalu. Dadaku terasa sangat sesak. Nisa, benar-benar merasa tidak kupedulikan lagi. Ia merasa jika aku memang hanya memperhatiakn Fira hingga ia menjawab seperti itu.
"Nisa  sayang maafkan bunda, bunda juga menyayngimu seperti bunda sayang pada adikmu," ucapku dengan deraian air mata.
**