Mohon tunggu...
Cerpen

Tangisan Ibu di Negeri Cahaya

1 Januari 2019   22:41 Diperbarui: 1 Januari 2019   23:08 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itulah aku menggendong orang tersebut ke Masjidil Haram dan kami pun ikut shalat Subuh berjamaah. Dalam sujudku, aku menangis. Menangis karena menyaksikan kakek tua renta yang selalu beribadah tepat waktu dengan merangkak dari rumahnya, yang bahkan aku sendiri merasa kalah dengannya padahal aku telah diberikan Allah keilmuan yang banyak hingga sampai ke kota suci ini, bahkan bisa mengajak istriku dari Indonesia agar tinggal disini selama aku menyelesaikan program doktoral ku. Dan aku pun menangis betapa pedihnya perjuangan ibuku dalam membantuku untuk sampai ke kota suci ini sehingga aku menjadi seperti sekarang.

                Cahaya kegelapan menghantuiku ketika aku masih berumur 12 tahun. Aku besar di suatu kota bernama Palembang, yang biasa disebut kota pempek. Hidupku penuh dengan kesia-siaan yang membutakanku menuju jalan agama. Hidupku penuh dengan kemewahan di dapat dari kesuksesan ayahku bekerja menjadi General Manager PT.SENTOSA, perusahaan logistik ternama di kota Palembang. Kehidupan yang mewah ini membuatku tumbuh menjadi orang manja, tidak berjiwa sosial, bahkan tidak peka terhadap situasi. Dalam benakku sebagai anak kecil berumur 12 tahun, aku bercita-cita seperti ayahku yaitu menjadi intrapreneur yang sukses. Intrapreneur adalah bahasa lain dari pekerja professional di perusahaan orang lain. Bahkan aku sudah dipersiapkan dari kecil, yaitu sekolah di SMP berskala internasional bernama SMP TUMBANG, kependekan dari Tumpuan Bangsa.

                Selama aku bersekolah, aku dikelilingi teman-teman yang tidak banyak mengutamakan agama, sehingga aku pun memiliki sifat "bodoh amat" dengan dunia agama. Bagiku, agama adalah agama, tidak perlu bercampur dengan urusan sekolahku. Untuk apa agama mencampuri urusan hidupku, yang ada hanya akan membatasi kehidupanku. 

Aku tidak mau menjadi orang yang dibatasi, tidak mau menjadi teroris yang mengutamakan agama untuk pembunuhan, dan menjadi orang bodoh yang hanya memikirkan agama nya selalu benar. Pada akhirnya aku habiskan masa mudaku dengan foya-foya, pergi pagi pulang tengah malam, dan menikmati kehidupan seks bebas bersama pacarku. Tidak heran, meskipun masih kecil tapi karena lingkunganku, aku pun merasa tidak berdosa dengan perbuatan seperti itu.

                Ada satu amalan yang ibuku tidak lupa dalam mendidikku, yaitu menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Aku tidak tau apa guna nya, ibuku menyatakan bahwa itu untuk masa depanku, tapi buat apa toh aku sudah hidup enak. Perselisihan hebat antara aku dan mamaku pun tidak luput setiap hari, sehingga aku sedikit temperamen ketika berhadapan dengan ibu. Esok pagi, kehidupanku mulai berubah ketika aku mendengar sayup-sayup pembicaraan ayah dan ibuku di ruang tengah. Selimutku pun kuhempas dan aku menguping sedikit pembicaraan mereka.

                "Ibu, bagaimana ini...ayah kemarin baru ikut kajian tentang parenting, dan ayah akhirnya sadar bahwa ayah tidak boleh menyia-nyiakan anak kita", ujar ayahku.

                "Maksud ayah?" tanya ibuku

                "Iya, ayah mau kelak anak kita menyelamatkan kita dari siksa yang panas, yaitu api neraka".

                "......Alhamdulillah......akhirnya ayah sadar betapa penting nya mendidik anak kita tidak hanya untuk dunia, tapi untuk akhirat. Tenang ayah, ibu sudah mendidik anak kita melalui menabung. Tidak tau sampai kapan, uang sedikit dari sisa uang jajan anak kita selalu ibu suruh tabung".

                "Lalu ibu mau apa dengan uang itu?", tanya ayahku penasaran.

                ".......ibu.....kelak...berharap anak kita bisa naik haji dan belajar agama disana. Kelak anak kita yang akan menyelamatkan kita dari siksa selama beratus-ratus tahun. Meskipun anak kita tidak terlihat seperti itu bahkan sangat jauh, tapi ibu percaya bahwa dia akan menjadi penyelamat kita", ucap ibuku sambil terisak-isak menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun