Indonesia adalah rumah bagi ribuan spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain. Dari sabang sampai merauke, berbagai satwa karismatik hidup berdampingan dengan masyarakat desa. Namun, ancaman kepunahan semakin nyata, dan keberlanjutan ekosistem pedesaan juga terancam.
Data dari IUCN Red List menyebutkan bahwa lebih dari seribu spesies flora dan fauna Indonesia masuk kategori terancam punah. Harimau sumatra, orangutan, gajah, hingga burung endemik Wallacea adalah sebagian contoh satwa karismatik yang kini menghadapi nasib suram.
Fakta ini memperlihatkan bahwa pelestarian satwa tidak semata isu global, tetapi juga menyangkut masa depan desa. Kehilangan satwa berarti kehilangan penopang ekologi desa. Sebab, satwa berperan menjaga keseimbangan rantai makanan, penyerbukan, hingga regenerasi hutan yang menopang kehidupan masyarakat.
Populasi Satwa Kritis dan Ancaman Habitat
Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), satu-satunya subspesies harimau tersisa di Indonesia, kini hanya berjumlah sekitar 400 ekor di alam liar. WWF-Indonesia dan Forum HarimauKita menyebut angka itu sangat rendah untuk mempertahankan keberlanjutan populasi genetik harimau dalam jangka panjang.
Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) mengalami kondisi serupa. Data resmi KLHK menyebutkan populasinya hanya sekitar 1.700 ekor, tersebar di 22 kantong habitat yang semakin terfragmentasi. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit menekan ruang jelajah satwa ini.
Fragmentasi habitat yang masif membuat satwa kehilangan jalur migrasi. Kondisi ini memperbesar kemungkinan konflik satwa dengan manusia, terutama di desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan. Tanpa langkah konservasi serius, populasi satwa karismatik akan terus terperosok menuju jurang kepunahan.
Konflik Manusia-Satwa di Desa
Fenomena konflik manusia-gajah semakin sering terjadi di Aceh, Riau, dan Lampung. Kajian Kuswanda dkk. (2022) menemukan bahwa konversi hutan menjadi perkebunan mempersempit ruang gerak gajah. Akibatnya, gajah masuk ke kebun warga, menghancurkan tanaman, dan menimbulkan kerugian ekonomi besar.
Masyarakat desa berada di garis depan persoalan ini. Mereka harus menghadapi kerusakan lahan pertanian, kehilangan panen, bahkan potensi ancaman keselamatan. Di sisi lain, satwa kehilangan habitat dan sumber makanannya, sehingga konflik semacam ini semakin sulit dihindarkan.
Tanpa intervensi tata kelola yang berbasis desa, masalah konflik manusia-satwa akan terus berulang. Desa membutuhkan regulasi lokal, pelatihan mitigasi, serta dukungan anggaran. Tanpa itu, benturan kepentingan antara manusia dan satwa akan menjadi ancaman berkelanjutan bagi pembangunan desa.
Desa Ramah Satwa: Sebuah Inovasi Konservasi
Di Kalimantan Tengah, inisiatif yang dikenal sebagai “Desa Ramah Orangutan” menjadi contoh praktik baik. Melalui program rehabilitasi dan restorasi gambut, masyarakat desa dilibatkan menjaga habitat orangutan sekaligus memperoleh manfaat ekonomi dari agroforestri dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
Program yang digagas BOS Foundation di sekitar Mawas Conservation Area memperlihatkan dampak nyata. Perambahan hutan berkurang, lahan kritis dipulihkan, dan masyarakat memperoleh pendapatan alternatif dari tanaman perkebunan non-sawit. Ini memperlihatkan desa bisa menjadi aktor utama konservasi.
Model seperti ini menegaskan bahwa konservasi satwa tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga internasional. Desa yang diberdayakan mampu menjadi garda depan penyelamatan satwa, sekaligus memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi mereka sendiri melalui praktik berkelanjutan.
SDGs Desa sebagai Instrumen Konservasi
SDGs Desa diluncurkan pada 2020 untuk memandu pembangunan mikro yang berkelanjutan. Dari 18 tujuan, isu lingkungan menempati posisi penting, termasuk perlindungan hutan, satwa, dan keanekaragaman hayati. Sayangnya, indikator lingkungan masih tertinggal dibandingkan indikator sosial dan ekonomi.
Data Kemendesa PDTT tahun 2023 mencatat rata-rata nasional untuk Desa Tanggap Perubahan Iklim hanya 9,53. Sementara, indikator Desa dengan Konsumsi dan Produksi Sadar Lingkungan bahkan lebih rendah, di angka 8,95. Ini menunjukkan kesadaran ekologis desa masih rendah.
Kondisi tersebut menjadi ironi karena desa merupakan benteng terakhir habitat satwa. Desa yang tidak peduli lingkungan justru mempercepat degradasi ekosistem. Padahal, dengan SDGs Desa, masyarakat sebenarnya memiliki instrumen perencanaan pembangunan yang berpihak pada konservasi.
Integrasi Data Desa untuk Konservasi
Jika data SDGs Desa dimanfaatkan secara serius, desa bisa memetakan potensi sekaligus ancaman ekologis. Misalnya, desa di sekitar [Taman Nasional Gunung Leuser](https://tn gunungleuser.or.id/) atau Taman Nasional Way Kambas dapat merancang peraturan desa khusus pengelolaan hutan dan mitigasi konflik satwa.
Integrasi data memungkinkan desa mengidentifikasi area rawan konflik, menentukan prioritas pemulihan lahan, hingga menetapkan zona konservasi lokal. Dengan begitu, data desa tidak berhenti sebagai laporan administratif, melainkan menjadi dasar kebijakan yang berdampak nyata di lapangan.
Langkah ini menuntut komitmen politik dari tingkat desa hingga kabupaten. Dukungan anggaran melalui APBDes berbasis SISKEUDES dapat memperkuat implementasi kebijakan. Tanpa itu, data hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak terhadap pelestarian satwa.
Ekonomi Hijau dari Desa
Konservasi sering dianggap beban, padahal bisa menjadi sumber ekonomi. Model Payment for Ecosystem Services (PES) di Kalimantan menunjukkan desa dapat memperoleh kompensasi finansial untuk menjaga hutan. Skema ini terbukti efektif mendukung penghidupan masyarakat sekaligus melindungi habitat satwa.
Studi Resosudarmo et al. (2020) dalam World Development mencatat keberhasilan PES meningkatkan kesejahteraan desa dan mengurangi deforestasi. Program semacam ini bisa diintegrasikan ke dalam SDGs Desa untuk memperkuat aspek ekonomi hijau berbasis konservasi.
Selain PES, peran BUMDes dapat diperluas melalui ekowisata satwa, pengelolaan hasil hutan non-kayu, hingga jasa lingkungan. Dengan cara ini, desa memperoleh pendapatan, masyarakat sadar lingkungan, dan satwa mendapatkan ruang hidup yang lebih aman.
Penutup
Desa bukan sekadar wilayah administratif, melainkan garda depan konservasi ekologi Indonesia. Dengan memperkuat SDGs Desa, desa bisa menjadi pusat inovasi penyelamatan satwa karismatik. Harimau, gajah, orangutan, dan burung endemik tetap lestari jika desa ikut menjaga habitatnya.
Mengintegrasikan konservasi ke dalam pembangunan desa berarti mengamankan masa depan ekologi sekaligus kesejahteraan masyarakat. Dari insentif hijau, regulasi lokal, hingga keterlibatan generasi muda desa—semuanya bisa menjadi pilar keberhasilan.
Menjaga satwa berarti menjaga desa, dan menjaga desa berarti menjaga bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI