Kisah nelayan yang getir sudah akrab di telinga. Laut seharusnya jadi sumber hidup. Bahkan sumber kemakmuran.
Tapi belakangan, laut terasa menyempit dan penuh ancaman. Banyak jari menunjuk ke proyek-proyek di pesisir.
Proyek besar itu dianggap biang masalah. Reklamasi dan industrialisasi diperlakukan seperti monster yang rakus memakan ruang hidup.
Ruang hidup yang selama ini menjadi milik nelayan tradisional. Pandangan ini bukan tanpa dasar.
Berbagai laporan menegaskan ancaman yang nyata. Termasuk dari proyek strategis nasional yang menekan ekosistem pesisir. Ekosistem laut itulah sandaran hidup para nelayan (WALHI).
Di lapangan, pembangunan yang masif memang berbekas besar. Titiknya ada di garis pantai.
Dulu wilayah tangkap berada dekat dan mudah diakses. Kini sebagian berubah jadi daratan baru.
Beton, pagar, kawasan industri tertutup. Akibatnya, nelayan harus melaju lebih jauh. Menembus laut lepas.
Konsekuensinya jelas. Bahan bakar bertambah. Waktu tergerus. Tenaga terkuras. Biaya operasional terus merangkak.
Sementara hasil tangkapan tidak selalu sepadan dengan risiko. Tekanan ekonomi terasa berat. Banyak yang memilih berhenti dan beralih kerja.
Data resmi ikut menguatkan gambaran ini. Jumlah nelayan di Indonesia menurun secara konsisten dari tahun ke tahun menurut Badan Pusat Statistik.