Program yang digagas BOS Foundation di sekitar Mawas Conservation Area memperlihatkan dampak nyata. Perambahan hutan berkurang, lahan kritis dipulihkan, dan masyarakat memperoleh pendapatan alternatif dari tanaman perkebunan non-sawit. Ini memperlihatkan desa bisa menjadi aktor utama konservasi.
Model seperti ini menegaskan bahwa konservasi satwa tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga internasional. Desa yang diberdayakan mampu menjadi garda depan penyelamatan satwa, sekaligus memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi mereka sendiri melalui praktik berkelanjutan.
SDGs Desa sebagai Instrumen Konservasi
SDGs Desa diluncurkan pada 2020 untuk memandu pembangunan mikro yang berkelanjutan. Dari 18 tujuan, isu lingkungan menempati posisi penting, termasuk perlindungan hutan, satwa, dan keanekaragaman hayati. Sayangnya, indikator lingkungan masih tertinggal dibandingkan indikator sosial dan ekonomi.
Data Kemendesa PDTT tahun 2023 mencatat rata-rata nasional untuk Desa Tanggap Perubahan Iklim hanya 9,53. Sementara, indikator Desa dengan Konsumsi dan Produksi Sadar Lingkungan bahkan lebih rendah, di angka 8,95. Ini menunjukkan kesadaran ekologis desa masih rendah.
Kondisi tersebut menjadi ironi karena desa merupakan benteng terakhir habitat satwa. Desa yang tidak peduli lingkungan justru mempercepat degradasi ekosistem. Padahal, dengan SDGs Desa, masyarakat sebenarnya memiliki instrumen perencanaan pembangunan yang berpihak pada konservasi.
Integrasi Data Desa untuk Konservasi
Jika data SDGs Desa dimanfaatkan secara serius, desa bisa memetakan potensi sekaligus ancaman ekologis. Misalnya, desa di sekitar [Taman Nasional Gunung Leuser](https://tn gunungleuser.or.id/) atau Taman Nasional Way Kambas dapat merancang peraturan desa khusus pengelolaan hutan dan mitigasi konflik satwa.
Integrasi data memungkinkan desa mengidentifikasi area rawan konflik, menentukan prioritas pemulihan lahan, hingga menetapkan zona konservasi lokal. Dengan begitu, data desa tidak berhenti sebagai laporan administratif, melainkan menjadi dasar kebijakan yang berdampak nyata di lapangan.
Langkah ini menuntut komitmen politik dari tingkat desa hingga kabupaten. Dukungan anggaran melalui APBDes berbasis SISKEUDES dapat memperkuat implementasi kebijakan. Tanpa itu, data hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak terhadap pelestarian satwa.
Ekonomi Hijau dari Desa
Konservasi sering dianggap beban, padahal bisa menjadi sumber ekonomi. Model Payment for Ecosystem Services (PES) di Kalimantan menunjukkan desa dapat memperoleh kompensasi finansial untuk menjaga hutan. Skema ini terbukti efektif mendukung penghidupan masyarakat sekaligus melindungi habitat satwa.
Studi Resosudarmo et al. (2020) dalam World Development mencatat keberhasilan PES meningkatkan kesejahteraan desa dan mengurangi deforestasi. Program semacam ini bisa diintegrasikan ke dalam SDGs Desa untuk memperkuat aspek ekonomi hijau berbasis konservasi.
Selain PES, peran BUMDes dapat diperluas melalui ekowisata satwa, pengelolaan hasil hutan non-kayu, hingga jasa lingkungan. Dengan cara ini, desa memperoleh pendapatan, masyarakat sadar lingkungan, dan satwa mendapatkan ruang hidup yang lebih aman.